Nama :
Suriani
NIM : 12/338550/PSA/7236
Mata Kuliah :
Historiografi
Syair
Sultan Fansuri dalam “Sultan, Pahlawan dan Hakim”
Syair Sultan
Fansuri
Sebelum menuju
ke penjelasan yang lebih jauh, sedikit saya beri penjelasan awal tentang syair.
Kata syair berasal dari bahasa Arab yang berarti perasaan. Syair dalam
kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi,
dalam perkembangannya, syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi
sehingga syair di desain sesuai dengan keadaan dan situasi yang terjadi[1]. Syair
dan prosa adalah salah satu produk dari historiografi tradisional. Sebagai
contoh adalah Syair Sultan Fansuri yang dijelaskan oleh Henri Chambert-Lior
dalam tulisannya.
Naskah Syair
Sultan Fansuri adalah sebuah teks yang di dalamnya terdapat dua bagian, yaitu
bagian awalnya puisi dan bagian selanjutnya prosa. Syair ini memiliki daya tarik melalui isinya
yang bernilai sejarah[2]. Isi
dari syair ini adalah mengenai sebuah riwayat raja yang memerintah, dan ilmu
pemerintah, mengenai sejarah Barus (Fansur).
Untuk
memahami cerita sejarah dalam Syair Sultan Fansuri ini, syair ini tidak bisa
dibaca sendiri, harus dibarengi oleh teks pendukung lain, seperti Hikayat
Tjrita Barus, Kronik Hulu dan Hilir dan teks-teks lainnya. Teks-teks tersebut
mengungkapkan fakta sejarah tentang keadaan-keadaan di Barus pada masa itu,
baik kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Sehingga sedikit saja celah kosong
yang mungkin akan tidak berisi dalam penceritaan dan penulisasn sejarah Barus
selanjutnya.
Melalui teks-teks
tersebut juga kita bisa menemukan banyak fakta lainnya, diantaranya cerita
tentang silsilah raja-raja Barus, selanjutnya terbentuknya dua kerajaan Hulu
dan Hilir, interaksi Barus dengan Aceh, interaksi sultan dengan pemerintah
kolonial dan fakta sejarah lainnya. Fakta-fakta tersebut tidak tertulis secara
langsung, namun tersirat melalui kata-kata yang disusun dalam padanan berlarik,
berirama dan rima.
Sama seperti
naskah-naskah kuno (tradisional) lainnya, dalam Syair Sultan Fansuri ini, selain
unsur fakta, kita juga akan menemukan unsur legenda. Contoh yang saya ambil
dalam syair ini yang mengungkapkan fakta adalah beberapa baris yang berbunyi :
…..
Itulah
asal mula kerajaan turun
temurun sampai sekarang
Baginda
Sultan empunya kata Ibunya
Sultan bapaknya Raja
Raja
di ulu bapak kandungnya Raja
di ilir ibu kandungnya
Dari potongan syair tersebut fakta
yang tersirat adalah tentang Raja Hulu, Sutan Baginda yang ayahnya adalah raja
sebelumnya di Hulu dan ibunya adalah putri dari Raja Hilir[3]. Ini
membuktikan bahwa ada dua kerajaan,
yaitu Hulu dan Hilir yang memiliki hubungan baik. Hal tersebut juga diketahui
melalui kronik yang kemudian dipublikasikan oleh J. Drakard (2003). Selain
fakta tersebut, banyak lagi fakta-fakta sejarah lainnya yang dapat kita temukan
dalam syair dan teks-teks mengenai Barus.
Selanjutnya,
unsur legenda dari syair ini dapat ditemukan melalui cerita tentang kepala Sultan Ibrahim yang walaupun sudah
terpotong dapat memalingkan wajahnya ketika dihadapkan dengan raja Aceh.
Kemudian kepala itu ditendang Raja Aceh dan karenanya Raja Aceh sakit, sehingga
akhirnya kepala Sultan Ibrahim di kembalikan ke Barus, dan seteah kepala Sultan
dipermulia barulah Raja Aceh sehat kembali.
Syair dan
prosa-prosa melayu sebagai produk historiografi tradisional dalam penulisannya,
seperti yang dijelaskan melalui contoh di atas, isinya memang mengandung fakta
sejarah, namun untuk mendapatkan fakta tersebut dituntut interpretasi yang
rumit, harus benar-benar bisa mencari penjelasan-penjelasan lain yang mendukung
tentang cerita atau peristiwa-peristiwa dalam syair atau prosa tersebut.
Melalui tulisannya, Henry berusaha mengungkapkan fakta tersebut dengan
penjelasan-penjelasannya melalui analisis naskah-naskah tersebut walaupun mash
belum sempurna.
Historiografi
selaku konstruk atau produk karya pujangga atau sejarawan, tidak hanya berfokus
pada substansi cerita atau deskripsi, melainkan juga perlu melihat pada
kerangka subjektif pujangga atau sejarawan. Sehingga tidak hanya fakta historis
yang menjadi pusat perhatian, tetapi juga faktor kontekstual dan juga
unsur-unsur subyektifnya.[4]
Dari
penjelasan tersebut, jika dikaitkan dengan penmbahsan syair diatas adalah bahwa yang perlu dilihat dari syair
tersebut adalah fakta-fakta sejarah yang tersembunyi dalam susunan larik-larik
dari pujangga sebagai penulisnya. Dan terbukti bahwa setelah banyak penelitian
dan pengkajian mendetil tentang syair tersebut, melalui antropolog J. Drakard,
Van der Tuuk dan Wieringa ditemukan fakta-fakta sejarah yang sebelumnya tidak
terungkapkan. Jika hanya orang awam yang membaca naskah tersebut, maka akan
sangat sulit untuk menginterpretasikan isi dari naskah tersebut yang
sebenarnya.
[3] Jane Drakard. Sejarah Raja-Raja Barus : Dua Naskah dari
Barus. (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2003), hal 163
[4] Sartono Kartodirdjo,
Refleksi Kesejarahan Dari Prespektif
Reformatif , hal 3 dalam buku “Dari
Samudera Pasai Sampai ke Yogyakarta” (Yayasan Masyarakat Sejarawan
Indonesia : Jakarta, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar