Nama :
Suriani
NIM : 12/338550/PSA/7236
Mata Kuliah :
Historiografi
Anthony
Jhon “The Role Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography
Mitos
dalam Historiografi Jawa
Historiografi Jawa yang dikemukakan melalui Pararaton dan Babad Tanah
Jawi adalah historiografi yang di dalamnya menyampaikan dua nilai, yaitu fakta
dan fiksi. Bagaimana kedua nilai itu bisa disatukan adalah suatu kewenangan
mutlak bagi penulis. Nilai fiktif tersebut dapat kita lihat melalui mitos
tentang struktur pemerintahan raja di kerajaan-kerajaan Jawa, seperti
Singasari, Mataram, Kediri dan Demak.
Anthony Jhon
melihat bahwa dalam konsepsi Jawa, raja memiliki peran besar dalam kehidupan
masyarakat. Raja memiliki peran makro dan mikrokosmis. Sebagai contoh adalah
Ken Arok yang menjadi Raja pertama Singasari. Dari apa yang tertulis dalam
Pararaton, Ken Arok adalah anak dari dewa Brahmana dengan manusia biasa.
Kemudian Ken Arok hidup sebagai manusia dengan lika-liku perjalanan hidupnya.
Termasuk tindakan kriminal yang dilakukannya. Kemudian Ken Arok bertemu dengan
seorang Brahmana yang mengetahui bahwa Ken Arok adalah keturunan dewa.
Selanjutnya bertemu dengan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung dan higga akhirnya
Ken Arok menjadi pemimpin dengan sebelumnya melakukan “kudeta merangkak” (istilah yang digunakan Pramoediya Ananta Toer
dalam Novel Arok Dedes) terhadap
pemerintahan Tunggul Ametung.
Kisah
Ken Arok tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa dalam konsep Jawa seorang
anak dewa harus menjadi raja, walaupun dengan sejarah gelap kehidupannya. Selanjutnya,
karena raja adalah anak dewa, maka rakyat harus mengikuti dan mengakui apapun
yang dikatakan oleh raja. Kisah selanjutnya yang menjadi contoh adalah kisah
dari Babad tanah Jawi, tentang Jaka Tingkir dan prosesnya menjadi raja kerajaan
Pajang. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa mitos dan symbol memainkan peran
yang penting dalam historiografi Jawa.
Menurut
Sartono Kartodirdjo, “Mitos mempunyai fungsi untuk membuat “masa lampau
bermakna”, biarpun dalam mitos “tidak ada unsur waktu, juga tidak ada masalah
kronologi, tidak ada masalah awal dan akhir””[1].
Seperti
apa yang dikatakan Sartono tersebut, kisah yang ada dalam Pararaton dan Babad
Tanah Jawi memang menjadi kisah yang berperan besar dalam kehidupan masayarakat
Jawa dan penulisan historiografi Jawa, khususnya dan historiofrafi Indonesia
kemudian. Masyarakat Jawa menganggap cerita Ken Arok sebagai awal dari
cerita-cerita raja dan kerajaan di Jawa selanjutnya.
Historiografi
Jawa melalui Pararaton dan Babad Tanah Jawi, yang keduanya adalah karya sastra,
merupakan bagian dari historiografi tradisional. “Historiografi tradisional
adalah historiografi yang diidentifikasi sebagai produk ketika sejarah ditulis
dalam tradisi besar masa lalu yang belum membedakan antara realitas dengan
legenda ataupun mitos”[2]. Karya
sastra telah menjadi bagian yang integral dengan sejarah sebagai sebuah
tradisi. Oleh sebab itu sebagai sebuah tradisi, paling tidak ada empat fungsi
utama dari karya-karya sastra seperti itu. Pertama, sebagai alat dokumentasi.
Kedua, sebagai media untuk transformasi memori antar generasi. Ketiga, sebagai
alat untuk membangun legitimasi. Keempat, sebagai bentuk ekspresi intelektual[3]. Dari
kisah Ken Arok dalam Pararaton, fungsi yang terlihat adalah sebagai alat untuk
membangun legitimasi. Untuk mengakui dan membesarkan nama Ken Arok sebagai anak
dewa Brahma yang menjadi Raja tanpa melihat sisi gelap dan negative dari
pribadi Ken Arok itu sendiri.
Kesimpulannya
adalah karya sastra, hasil dari historiografi tradisional tersebut memuat
realitas yang disajikan dalam imajinasi dan fantasi. Meskipun historiografi tradisional
mengandung nilai fiktif, tidak manusiawi dan tidak mengandung realitas masa
lalu namun hasil dari historiografi tradisional tetap menjadi bagian penting
dalam penulisan historiografi Indonesia selanjutnya, selama sejarawan mampu
menggunakan pemahaman metodologis dan pengetahuan subsatansi historis yang luas
untuk mengungkapkan realitas di dalam historiografi tradisional tersebut. Biarkanlah
historiografi Jawa dengan mitosnya sendiri, karena “dia” juga menjadi pelengkap
nas historiografi Indonesia modern
sekarang ini.
Sumber Bacaan :
Bambang
Purwanto. Gagalnya Hiistoriografi
Indonesiasentris?!, (Ombak : Yogjakarta, 2006)
Sartono Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi : Suatu Alternatif. (Gramedia
: Jakarta, 1982)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar