Nama :
Septi Utami
No.
Mahasiswa : 12/339799/PSA/7354
Historiographical
Review “Asian Values” and Southeast Asian
Histories, by T.N Harper dan On The Study of Southeast Asian History, by
D.G.E. Hall
Pada saat ini suatu pencapaian
tentang makna ideologi tidak begitu sering menjadi topik permasalahan, namun
budayalah menjadi bingkai suatu peradaban kini mulai dikemukakan. Barat yang melihat
nilai-nilai pada Timur mulai mempelajari masalah ke Timuran, baik di bidang
bahasa, etika, peradaban, maupun agama. Hal ini merupakan suatu pengertian
orientalisme dalam terminologi. Para sejarawan kebudayaan mengemukakan bahwa
walaupun orientalisme memiliki maksud tersendiri namun ini merupakan suatu
pencarian kembali tentang keeksotikan akan sebuah nilai peradaban dan
inspirasi. Akan tetapi, hal ini menjadi suatu gambaran buruk ketika Islam
menyebutkan bahwa orientalisme suatu teror kebobrokannya nilai-nilai kebudayan
dengan membiarkan Barat masuk dan merusak nilai-nilai budaya keTimuran. Dalam
hal ini, nilai-nilai seperti apa yang menjadi persoalan dalam masalah
orientalisme. Penekanan pada nilai sendiri dijelaskan oleh Dr. Mahathir sebagai
tantangan dari neo-imperialisme di timur. Dia menekankan bahwa timur masih belum
mampu melihat jati dirinya sebagai suatu bangsa, padahal nilai Asia merupakan
hal yang selama ini ditolak oleh Timur. Timur sendiri masih terkukung oleh
penafsiran dalam hal membangun sejarah bangsa mereka sendiri, karna itulah
disini Mahathir mulau memberikan suatu adanya keinginan dari Barat yang mulai
membuka budaya yang ada di Timur.
Para pendahulu, seperti Clifford
Geertz, James Siegel, Shelly Errington, dan Ben Anderson mulai melihat
kenyataan bahwa pentingnya akan fakta dapat ditemukan di cerita-cerita daerah.
Mereka banyak menekukan hal-hal yang berhubungan dengan etnografi, kondisi
masyarakat, gambaran kekuasaan dan keadaan daerah melalui cerita-cerita
tersebut, hal ini sangat penting untuk membangun nilai Asia tersebut. Adapun
peneliti lainnya yang mulai membuka penelitiannya dengan sisa-sisa arsitektur
dari bangunan ataupun prasasti-prasasti peninggalan kerajaan. Bernard Philippe
Groslier meneliti Angkor dengan melihat peradaban Khmer Tua melewati sisa-sisa
arsitektur, sedangkan JG de Casparis menggunakan prasasti dari Jawa abad ke-8
dan ke-9 dalam merevolusi pengetahuan tentang Sailendra dalam sejarah
Indonesia. Adapun Paul Wheatley telah memeriksa tulisan-tulisan Cina, Yunani,
Arab, Persia, dan India yang berkaitan dengan geografi sejarah awal Malaya
dalam hal mempelajari Asia. Selanjutnya, C.C. Berg juga melakukan studi sejarah
kuno dengan menganalisis serta mencari pemaknaan dalam Negarakertagama,
Pararaton, dan Babad Tanah Jawi yang telah menggunakan versi Krom dari Hindu
periode Jawa dalam penanggalannya.
Sejarah nasional dibentuk oleh
sejarah daerah, merupakan suatu ungkapan yang ingin dipecahkan oleh peneliti
Barat tersebut agar dapat menemukan nilai dari Asia tersebut. Tradsi oral yang
mencoba menggambarkan nilai yang terkandung di suatu teks-teks dapat bernilai
tersendiri, karena kandungan akan nilai kebudayaan dapat ditemukan. Teks-teks
yang telah disebutkan dapat memberikan suatu analisa penggambaran sejarah awal
daerah yang terdapat poin-poin tertentu; yaitu penggunaan sumber-sumber Cina,
yang banyak mengandung kronik-kronik adat yang terkandung dalam mitos-mitos
daerah. Adapun penggunaan epigrafi yang masih harus dilakukan penelitian, dapat
dimanfaatkan sebagai sumber untuk melihat kehidupan sosial dan ekonomi.
Selanjutnya, adalah arkeologi dan sejarah adat serta tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan legenda, cerita rakyat, tradisi, dan sejarah informasi baik
untuk digunakan.
Beberapa poin diatas dapat
memberikan suatu pandangan akan pentingnya pembangunan kembali sejarah dengan
melihat aspek kebudayan masyarakat sendiri, sehingga disini kita mencoba
menghilangkan suatu tradisi dimana ada istilah masa kolonial atau jaman
Belanda. Hal ini telah membawa van Leur untuk mengingatkan pada sejarawan untuk
skeptis dalam melihat sumber-sumber dan karya-karya sekunder. Hal ini berkaitan
dengan suatu pencapaian dalam mendapatkan suatu informasi yang benar dan mulai
mencari segala sesuatunya dari sisi yang berbeda, dalam hal ini bukanlah sisi
pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada penggunaan cerita-cerita melayu dalam
membangun sejarah Malaysia, dengan mencari masa-masa islam klasik dahulu.Adapun
nilai Asia pada historiografi di Indonesia saat masa pergerakan banyak di
warnai dengan masalah pada politik atau kaum elite tertentu, namun ada beberapa
yang melihat tentang masyarakatnya, keadaanya dan menuliskan tulisannya dengan
suatu puisi-puisi yang dalam bentuk hujatan maupun dukungan. Hal ini merupakan
suatu profil dari Pramoeddya Ananta Toer dalam melihat sejarah dengan menulisnya
sebagai sastra. Bukan berarti pusisi-puisi ini tidak dapat dijadikan sumber
bagi sejarawan, namun ini penting karena penggambaran akan suatu kepemerintahan
dapat terminimalisirkan.
Hal-hal yang telah
disebutkan memberikan suatu warna baru tentang kesimpulan bahwa ini merupakan
suatu perubahan sosial. Pemaknaan nilai Asia dapat bernilai ketika mereka
berada di bawah suatu ancaman, dan bukan berarti ini suatu perlawanan dari
Barat namun suatu respon untuk membangkitkan kehidupan masyarakat di Asia. Komunitas baru muncul disekitar pola yang baru akan sebuah
pekerjaan dan penyelesaian. Berhadapan dengan perubahan besar, nilai Asia
membagi masyarakat sebagai unit dari perlawanan terhadap Barat. Perjuangan
besar bukan datang mengenai kebudayaan, tetapi mereka. Oleh karenanya berikan
suatu bentuk identitas yang kuat dapat menopang masuknya budaya yang dapat
merubah nilai dari Asia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar