HISTORIOGRAFI
INDONESIA:
ANTARA INFERIORITY-COMPLEX DAN INDONESIASENTRIS
Sumber: Google.com
Sejarah tidak sekedar
rentetan angka tahun, tokoh dan peristiwa. Lebih dari itu, sejarah seharusnya
dimaknai sebagai refleksi apa yang terjadi pada masa lalu yang akan bermakna
bagi yang hidup hari ini dan di masa mendatang. Kuntowijoyo mengingatkan bahwa
berbicara sejarah bukan sekedar berbicara masa lalu saja karena di dalam
sejarah ada nilai dan makna yang akan sangat berguna untuk manusia sebagai
objek sejarah yang akan hidup pada temporal selanjutnya. (Kuntowijoyo, 2003).
Begitu pula dalam
memandang sejarah Indonesia, cara pandang yang sesuai tentu harus dipilih. Sejarah
Indonesia memang cukup delematis karena berada di antara “apa yang terjadi”
atau “apa yang dikatakan telah terjadi”. Posisi yang pertama adalah posisi default atau asli dari sejarah, yakni
sejarah sebagai peristiwa yang terjadi. Sedangkan yang kedua adalah sebagai
posisi ketika peristiwa masa lalu itu ditulis. Posisi yang kedua itulah yang
menjadikan penulisan sejarah (historiografi) Indonesia runyam. Mengapa?
Historiografi
Indonesiasentris dan Kebudayaan Kolonial
Berbicara historiografi
Indonesia juga berarti berbicara tentang sejarah nasional dan sejarah bangsa
Indonesia. Perjalanan masa lalu bangsa yang ditulis dan disajikan untuk anak
bangsa yang hidup di kemudian hari bagaimanapun menjadi penting karena
merupakan identitas nasional sekaligus identitas kolektif bangsa (Nordholt,
dkk, 2008). Kolonialisasi bangsa asing yang terjadi selama 142 tahun
menimbulkan traumatis tersendiri. Hal inilah yang akhirnya membuat para
sejarawan Indonesia memilih untuk menuliskan sejarah Indonesia yang “Indonesiasentris”.
Sah-sah saja jika
pilihan menulis sejarah yang “Indonesiasentris” disepakati pada Kongres Sejarah
Nasional I pada 1957. Namun, mari merenungi, sebenarnya sejarah Indonesiasentris
yang seperti apa yang dikehendaki Kongres Sejarah Nasional I waktu itu? Sebelum
pertanyaan itu terjawab, mari kita satukan terlebih dahulu pemahaman akan
“nasionalisme” atau “ultranasionalisme” yang muncul pada masa transisi model
penulisan sejarah pasca-proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.
Sebagaimana dijelaskan
oleh R. Moh. Ali (2005), pasca proklamasi kemerdekaan, pola pikir rakyat
Indonesia termasuk di dalamnya sudut pandang penulisan sejarah Indonesia ketika
itu terkaesan melanjutkan tradisi Indonesia sebelum 1945. Idealnya, menurutnya,
“sejarah Indonesia tidak perlu mengandung maksud membela diri terhadap Belanda,
tidak perlu dipergunakan untuk menutupi rasa kurang (minderwaardigheidcomplex) sebagai bangsa.” Sedah seharusnya
perspektif penulisan sejarah Indonesia mampu “melukiskan perkembangan bangsa
merdeka”.
Rasa inferiority-complex itu kemudian
menjerumuskan arah penulisan sejarah Indonesia yang bermaksud “balas dendam”
dan justru mengumbar “mitos” kebesaran Indonesia di masa lalu. Sebagai contoh
adalah pernyataan bahwa Indonesia dulu adalah bangsa besar yang telah bersatu
dalam wujud Negara Sriwijaya dan Majapahit. Kemudian, setelah dahulu Indonesia
bersatu, Belanda datang dan memecah persatuan bangsa Indonesia dengan politik “devide at impera”. Padahal, bagaimana
yang sesungguhnya terjadi? Apakah memang Sriwijaya dan Majapahit merupakan
sebuah nation-state sebagaimana
Republik Indonesia yang merdeka ketika itu? Tentu tidak seperti itu dan hal itu
memang bukanlah sejarah Indonesia.
Bagaimanapun harus
diakui bahwa wilayah Indonesia hari ini merupakan wilayah Nederlands-Indie (Hindia-Belanda) terdaulu. Namun, tentu saja tidak
berarti sejarah Indonesia yang mulai membuka lembaran barunya pada 17 Agustus
1945 sama dengan sejarah Majapahit dan Sriwijaya. Begitu juga ketika menyoal
tentang kolonialisme Belanda. Benar kiranya Belanda pernah menjadikan
Hindia-Belanda, yang sekarang menjadi wilayah Indonesia ini, sebagai koloni
sejak VOC runtuh dan diambil alihnya kekuasaan tata pemerintahan Hindia-Belanda
oleh Rafless-Deandles, sebelum akhirnya kembali ke Kerajaan Belanda. Namun,
kolonialisasi pemerintah Belanda (1799-1942) tentu harus dibedakan dengan
memonopoli perdagangan VOC (1602-1799).
Hal ini menjadi penting
karena jika hingga hari ini, “mitos-mitos” yang mengganggu historiografi
Indonesiasentris itu belum hilang, maka seterusnya hisotriografi
Indonesiasentris yang dicita-citakan oleh para perumus naskah Seminar Nasional
Sejarah Indonesia I pada 1957 sulit akan terwujud. Menulis sejarah Indonesia
seharusnya memaparkan fakta dan bukan sekedar mitos yang sastrawi. Menulis
sejarah Indonesia juga seharusnya dari kacamata orang Indonesia yang merdeka
dan bukan lagi dari perspektif inlanders,
inheemsen ataupun bumiputra yang
“anti-kolonial”! Menulis sejarah Indonesia yang “ideal” tentu bukan berarti
melepaskan “nasionalisme”, tetapi yang lebih penting dari itu yakni
memposisikan sejarah sebagai ilmu!
Oleh: Ghifari Yuristiadhi, Mahasiswa Program Pascasarjana Sejarah UGM 2012
Referensi:
Bambang Purwanto, 2006, Gagalnya Historiografi Indonesiasnetris?!, Yogyakarta: Ombak.
Henk
S. Nordholt, Bambang Purwanto & Ratna Saptari, 2008, Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: KITLV-Yayasan
Obor.
Kuntowijoyo, 2003, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nicholas B. Dirks (ed.), 1992, “Introduction: Colonialism and Culture”, dalam Colonialism and Culture, Ann Arbor: The University Michigan Press.
R. Moh. Ali, 2005, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Yogyakarta: LKIS.
jadi intinya harus melihat segala sesuatu dari positif dan negatif y mas??
BalasHapus