MEMAHAMI KEMBALI MAKNA
SEJARAH DAN FUNGSI SEJARAWAN
sumber: pustakasekolah.com
“Masa
kini kita memang masih menjadi milik banyak orang, tetapi sejarawanlah
sebenarnya
yang mempunyai posisi paling menunguntungkan.
Sebab, sejarawan dapat melakukan
refleksi
kritis melintas waktu: masa lalu, masa kini dan masa depan”.
(Kuntowijoyo, 2003)
Seringkali saya merenung,
untuk apa sebenarnya sejarah dan sejarawan itu diciptakan? Sebagai pendongeng
tentang romantisme masa lalu yang “menina bobokkan” setiap orang yang
mendengarkan, atau yang seperti apa? Kegusaran saya semakin meledak tatkala
ketika membaca “kegusaran” lain yang tertuang dalam pidato pengukuhan Singgih
Tri Sulistiyono sebagai Guru Besar Universitas Diponegoro, 2008 silam. Dalam
pembukaan pidatonya, dikatakan bahwa banyak kalangan yang merasa bahwa
sejarawan hari ini terlalu asyik dengan dunianya, atau dalam istilah kritikus,
berdiri di atas menara gading. Akibatnya, karya yang dihasilkanya kurang
kontekstual dengan kebutuhan masyarakat yang hidup pada masa kini.
Namun, kegelisahan terobati
tatkala mendapatkan sebuah pencerahan. Kuntowijoyo (2003) mengingatkan kepada
para sejarawan agar jangan sampai karya sejarah yang dibuat oleh mereka hanya
menjadi antikurian yang hanya berkutat pada masa lampau dan tidak punya
relevansi dengan masa kini. Artinya, sejarawan mempunyai tanggung jawab sosial,
sebagaimana sejarah itu sendiri yang memang mempunyai makna sosial. Tanggung
jawab sejarawan itu tak lain yaitu bagaimana bisa menghadirkan refleksi
historis kepada masyarakat yang membaca karya sejarah mereka untuk mengarungi
kehidupan hari ini dan yang akan datang dengan lebih baik. Seperti halnya
kutipan di awal tulisan ini.
Sejarah dan
Dialog Masa Lalu
Dalam kaitannya dengan
fungsi sosial dari sejarah itu sendiri,
historiografi atau penulisan sejarah bisa dianalogikan sebuah dialog masa lalu
dengan masa kini dan masa depan. Jika sejarah hanya berbicara pada masa lalu
saja, dapat dikatakan bahwa sejarah itu seperti barang antik nan usang
(Singgih, 2008). Artinya, sejarah hanya menjadi alat pembenar masa lalu
(termasuk para penguasanya) dan takut kepada masalah kekinian. Percuma rasanya
jika sejarah hanya “gagah” memperbincangkan bahkan menghakimi masa lalu namun
“tumpul” untuk menjawab persoalan di masa kini.
“Keegoisan” sejarah
yang gagal menghadirkan refleksi masa lalu untuk masa depan inilah sepertinya
yang barangkali menyebabkan sejarah banyak “dilupakan” banyak orang. Semua
orang mengetahui bahwa segala sesuatu memiliki sejarah bahkan semua bidang ilmu
juga memiliki sejarah. Artinya, begitu dibutuhkan sebenarnya sosok sejarawan,
seseorang yang hadir membawa masa lalu untuk direfleksikan pada masa kini. Namun
patut disayangkan, peran sejarawan yang hingga kini masih dianggap cukup relax di atas menara gading, membuat
mereka kurang “melirik” apalagi “memanggil”-nya.
Meminjam Singgih Tri
Sulistiyono, sejarawan hari ini harus mampu membuat “Historiografi
Pembebasan”!. “ Historiografi
pembebasan ini diharapkan dapat berperan sebagai sebuah historiografi yang
mampu membebaskan cara berpikir masyarakat terhadap masa lampau dari belenggu
ketidaktahuan, kepalsuan, mitos-mitos, manipulasi, dan kesalahtafsiran aktual
mengenai masa lampau sehingga memberikan spirit untuk bertindak menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia berdasarkan akar historis.”
Pertanyaannya kemudian, mampukah?
Perspektif
kekinian seperti halnya yang dikatakan Benedetto Croce (1866-1952), perlu
digaungkan oleh sejarawan. Meskipun menuliskan sejarah as it actually
happened sebagaimana dikatakan Leopold
von Ranke (1795-1886) tentu juga menjadi hal yang utama. Maksud dari argument
saya ini adalah, meskipun sejarah harus “idealis” dengan kemasa laluannya,
jangan sampai hal itu memisahkannya dengan masa kini. Jika masa lalu terpisah
dengan masa kini, sejarah menurut Croce hanyalah “mayat atau bangkai sejarah”.
Idealnya,
masih menurut Croce, sejarah yang sesungguhnya merupakan an act of spirit. Oleh
karenanya, tulisannya yang berjudul: “every true history is contemporary
history” cukup relevan.
Konsekuensinya dari hal itu yakni “setiap generasi akan menulis sejarahnya
sendiri sesuai dengan kepentingan-kepentingan mereka sendiri dalam dimensi
kekinian”. Historiografi yang menjadi bagian
dari penulisan itupun sudah semestinya menjadi produk dari kekinian yang member
jawaban atas hakikat kekinian sebagaimana diungkapkan oleh Wilhelm Dilthey. (Singgih, 2008)
“New” History
Semangat untuk
menghadirkan “Historiografi Pembebasan” seperti yang diistilahkan oleh Singgih
tadi tentu harus dibarengi dengan sebuah kesadaran sejarah (historical
consciousness) yang lebih luas dan
juga ditambah dengan verstehen
(understanding) yang cukup (Kuntowijoyo, 2008). Verstehen tentu bukan sekedar mengerti di permukaan, lebih dari
itu, yakni mengeri makna yang lebih dalam dari peristiwa yang terjadi pada
sebuah kurun waktu di masa lalu. Dengan begitu diharapkan para sejarawan itu
dapat memaknai kembali beristiwa masa lalu dengan jiwa zaman kekinian. Pemahaman
yang utuh itu dapat dikatakan sebagai salah satu bagian dari epistimologi
sejarah. Harapannya, masyarakat
“yang memiliki kesadaran sejarah akan mencari jawabannya bukan hanya dengan
belajar sejarah (learning history), tetapi juga belajar dari sejarah (learning
from history)”.
Pengetahuan
akan masa lalu dari yang cukup komprehensif ternyata belum cukup untuk
menuliskan sejarah. Pasalnya acap kali sejarah yang ada, terlebih sejarah
nasional telah menjadi alat legitimasi pemerintah yang berkuasa. Dalam sejarah
Indonesiapun sepertinya kita tidak sulit untuk menuliskan bagian-bagian yang
dijadikan legitimasi rezim yang berkuasa. Mengembalikan sejarah kepada
“khitoh”-nya yakni sebagai ilmu dengan mengkritisi “mitos-mitos sastrawi” yang
menyatu pada fakta-fakta sejarah seharusnya dilakukan oleh sejarawan. Dekonstruksi
sejarah yang digaungkan Alun Munslow begitu juga Siep Stuurman dan Maria Grever
(2007) menjadi relevan.
Oleh: Ghifari Yuristiadhi, Mahasiswa Program Pascasarjana Sejarah UGM 2012
Referensi
Munslow,
Alun, 2010. The Future of History, New York: Palgrave Macmillan.
Kuntowijoyo, 2008, Penjelasan
Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana.
-----------, 2003, Metodologi
Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Stuurman, Siep dan Grever, Maria (ed.), 2007, Beyond the Canon: History for the 21st
Century, New York: Palgrave Macmillan.
Singgih
Tri Sulistiyono, 2008, “Historiografi Pembebasan untuk Indonesia Baru”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas
Diponegoro Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar