Monica Frensia Mega Fishera[1]
“Kami hendak
bebaskan diri kami sama sekali dari ikatan-ikatan yang melekat pada diri kami
dan menghambat kemajuan kami akan kami kebaskan, agar jiwa kami menjadi segar dan bebas, agar makin
lebarlah sayap dapat dikepakkan, demi kebaikan usaha yang akan kami lakukan.”
(Surat R.A. Kartini, 10 Juni 1902,
kepada Nyonya Abendanon)
Pendahuluan
Jika kita
mengingat kembali kumpulan surat tulisan R.A. Kartini yang populer yang saya
ambil sebagai pembuka dalam tulisan ini, tentunya kita berpikir tentang suatu
pernyataan “Apakah Indonesia sekarang masih terikat pada invisible
hand atau tangan-tangan tak terlihat
yang mengekang bangsa ini?” Memang secara yuridis, bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang merdeka, tetapi menurut saya secara mental kita masih
terikat pada invisible hand yang menurut saya punya daya yang besar
untuk mendominasi mind set masyarakat secara luas dengan kekuatan “akal.”
Menurut saya, pembahasan tersebut dapat dikaitkan dengan “Historiografi Canon.”
Jika kita
mengingat istilah “Canon” yang diindentikkan dengan “Buku Babon
Negara,” pastilah kita mengingat 6 jilid buku “Sejarah Nasional
Indonesia” yang merupakan buku induk untuk memahami Sejarah Nasional
Indonesia. Kekritisan kita tentunya membawa kita pada istilah “Nasional”
yang melekat pada judul buku itu sendiri yaitu “Sejarah Nasional Indonesia.”
Nasional sendiri berasal dari natie (bahasa
Belanda) atau nation (bahasa
Inggris), yang berarti bangsa. Menurut Hardjosatoto (1985) nasional adalah
sekelompok manusia yang mempunyai asal-usul yang sama (ras/keturunan). Kemudian
Sudiri (1993) menambahkan bahwa terdapat beberapa teori mengenai bangsa yaitu:
a.
Cultuur natie theori
(teori bangsa berdasarkan kebudayaan). Menurut teori ini, bangsa adalah
sekelompok menusia yang mempunyai persamaan kebudayaan.
b.
Staats natie theorie (teori
bangsa berdasarkan negara). Menurut teori ini, bangsa adalah sekelompok manusia
yang hidup dalam lingkungan satu negara.
c.
Gevoels en wils theorie (teori bangsa berdasarkan persamaan perasaan dan kehendak).
Menurut teori ini, bangsa adalah sekelompok manusia yang mempunyai persamaan
perasaan dan kehendak. Jadi, nasional berarti sekelompok manusia yang hidup
dalam suatu negara dan berasal dari kebudayaan/keturunan/ras yang sama.
Mengingat tentang kata “Nasional” tentunya secara sadar atau
tidak tentunya buku tersebut bertujuan untuk membangun nasionalisme bangsa.
Tetapi pertanyaan yang mendasar, dengan membaca definisi nation di atas
adalah “Apakah buku Sejarah Nasional Indonesia yang sekarang sudah merupakan
representasi dari nation bangsa yang sesungguhnya?” “Apakah untuk
membangun nasionalisme bangsa tersebut harus mengunggulkan satu aspek dan
mengkerdilkan aspek lain?” Menurut saya, Canon lama seperti Sejarah
Nasional Indonesia, yang membutuhkan dekonstruksi ulang dengan lebih melihat
pada sudut pandang lain dengan cara menyoroti tentang keadaan berbagai keadaan
sejarah. Ego saya berpikir suatu pertanyaan yang sederhana yaitu “Apakah
sebenarnya dapat dikatakan bahwa Canon sebagai gaya Penjajahan baru yang Nyata
Oleh Negara?” Alternatif seperti apa yang mungkin bisa dimasukkan dalam
Canon Baru sebagai New Historisisme, Dekonstruksi, Representasi Sejarah?”
Berikut ini, saya akan mencoba menawarkan alternatif historiografi “New
Historisisme” dalam Canon yang mugkin menurut saya sempat terabaikan dalam historiografi
Canon yang telah ada saat ini. Ini tentunya suatu upaya untuk membuka cakrawala baru yang sebenarnya telah
ada bibit-bibit yang membahas tentang hal tersebut.
Menurut saya, sebuah representasi yang baik dari nation dalam Canon adalah diangkatnya budaya sebagai
cerminan nilai luhur bangsa. Dilihat dari sudut pandang seorang sejarawan,
menurut saya sangat layak peninggalan budaya dijadikan suatu alternatif historiografi. Uraian saya selanjutnya akan banyak berbicara
tentang “Bagaimana sebaiknya historigrafi Indonesia jika dikaitkan dengan
peninggalan seni budaya?”
Marginalisasi Budaya dan Kajian Budaya Ahli
Bakker (1984) mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah penciptaan,
penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat-istiadat. Kebudayaan juga dapat
diartikan sebagai antar keseluruhan pengetahaun manusia sebagai makhluk sosial
yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi
pedoman tingkah lakunya. Budaya adalah pikiran, akal budi, hasil,
adat-istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan susah diubah. Sedangkan
menurut Kleden (1987) kebudayaan adalah dialektik antara ketenangan dan
kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan desintegrasi,
antara tradisi dan reformasi. Tanpa tradisi atau integrasi suatu kebudayaan
menjadi tanpa identitas, sedangkan tanpa reformasi/tanpa desintegrasi nsuatu
kebudayaan akan kehilangan kemungkinan untuk berkembang/memperbarui
diri/menyesuaikan diri dengan perubahan sosial. Persoalan tiap-tiap kebudayaan
adalah efek saja yang ditimbulkan oleh tradisi dan reformasi dalam kebudayaan.
Dengan melihat pengertian budaya tersebut, budaya itu sendiri
sebaiknya dikembangkan dan menyesuaikan diri, maka menurut saya, sungguh suatu
yang tepat jika seni budaya dijadikan sebagai alat analisis alternatif untuk
mengkaji sejarah. Selain untuk mempertebal “rasa kebangsaan”, hal
tersebut juga dapat digunakan agar budaya tersebut tidak “termarginalisasi
di tempat yang seharusnya budaya tersebut dapat tetap eksis sebagai identitas
suatu bangsa”, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa memang tidak ada
budaya yang original.
Anthony H. Johns, seorang Profesor Sastra dan Bahasa Indonesia dari
Australian National University, mampu
membuka cakrawala baru dalam mengenai historiografi tradisional Indonesia,
dalam tulisannya yang berjudul "The Role of Stuctural Organisation and Myth in Javanese Historiography." Tulisan tersebut menarik untuk dikaji yaitu
mengkaji mitos yang merupakan budaya bangsa. Tulisan John bercerita tentang
Pararaton dan Babad Tanah Jawi.
Menurut John, pengantar Pararaton, bukanlah dongeng belaka, tetapi menggambarkan kepercayaan orang-orang Jawa
tentang raja dan hampir dapat mengggambarkan peran raja dalam konsep
orang Jawa. Saya setuju dengan pendapat John tersebut. Dalam konsep kebudayaan
Jawa mengajarkan hubungan yang harmoni
antara makrokosmos dan mikrokosmos. Konsep pertama dapat diartikan sebagai
jagad gedhe atau alam semesta yang memiliki tatanan sendiri yang diatur
oleh kekuatan-kekuatan supranatural sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu penguasa (raja) wajib menjaga hubungan-hubungan yang harmonis terhadap kekuatan-kekuatan supranatural
agar tidak terjadi guncangan hebat di muka bumi.
Menurut John Babad Tanah Jawi, berisi tulisan yang dibukukan yang
dapat menceritakan kekuasaan Sultan Agung (1613-1645). John juga berpendapat
bahwa pengantar pada Babad Tanah Jawi, lebih kompleks dibandingkan dengan Pararaton
titik awal penulisannya dimulai di Jawa Tengah, Mataram, oleh Senapati tahun
1582, dimana yang ditulis adalah pada saat Mataram mencapai puncak kejayaannya,
yaitu pada masa Sultan Agung, cucu dari Senopati. Ditinjau secara tehnik-tehnik
untuk mengakhiri cerita yang digunakan oleh penulis Babad Tanah Jawi berbeda
dengan Pararaton, John berpendapat bahwa Ken Arok berkuasa bukan karena
berdasarkan keturunan, sebagaimana Senopati, tetapi dengan melakukan
petualangan dengan menempuh berbagai ujian. Ken Arok tidak menghubungkan
dirinya dengan keraton sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Senopati yang
tidak hanya menghubungkan dirinya dengan satu keraton ke keraton lainnya, tetapi juga menggunakan tanda-tanda
kebesaran dari keraton yang terdahulu ke keraton berikutnya.
John menduga bahwa sama dengan Babad Tanah Jawi sama dengan
Pararaton yaitu berfungsi sebagai legitimasi. Meskipun tetap ada perbedaan
antara keduanya. Selain itu, menurut John, tujuan penulisan Babad Tanah Jawi
adalah untuk menunjukkan unsur ketuhanan
atau untuk menunjukkan fungsi raja sebagai penghubung mikrokosmos dan
makrokosmos, itu memang hak mereka. John menduga bahwa babad Sultan Agung merupakan hasil revisi dan adaptasi
dari Babad Pajang dan Babad Pajang pun merupakan turunan dari Babad
Demak.
Menurut John, mitos dan simbol memerankan
peranan yang sangat penting pada Babad Tanah Jawi bila dibandingkan dengan
Pararaton. Oleh karena itu,
berlebihan bila keduanya hanya dipandang sebagai mitos belaka. “Disamping memuat mitos, karya tradisional, juga
memiliki realisme sejarah atau fakta, sama seperti halnya historiografi
modern.” Fakta itulah, yang kiranya dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh
sejarawan sebagai pedoman untuk membaca pola kesejarahan
suatu masyarakat yang ingin diteliti-tentunya, setelah melalui kritik sumber.
Jika John menyebut “mitos dan karya
tradisional”, saya lebih senang menyebutnya sebagai seni budaya karena
menurut saya mitos dan karya tradisional merupakan penyebutan yang lebih khusus
dan lebih kearah sastra tradisional sebagai alternatif untuk historiografi modern, dan alternatif
yang saya tawarkan bukan hanya sekedar sastra.
Sastra Sebagai
Alternatif Historiografi Modern
Pertama,
tulisan sastra yang cukup menarik digunakan dalam mengkaji historiografi adalah sastra tradisional seperti cerita Ramayana.
Ramayana disini dapat dikaitkan dengan “Bagaimana
kondisi sejarah kerajaan Mataram Hindu maupun dapat digunakan untuk
menganalisis sejarah sendratari ramayana yang dikaitkan dengan kondisi
perekonomian masyarakat sekitar Prambanan?” Sebuah tulisan milik Indah
Nuraini yang berjudul “Pembentukan gaya dalam sendratari Ramayana Yayasan
Rara Jonggrang di Panggung terbuka Prambanan” menurut saya cukup menarik
walau beliau bukan seorang sejarawan. Ceritera Ramayana merupakan sebuah epos
yang sudah dikenal di seluruh Asia, bahkan dunia, dan di Indonesia ceritera
Ramayana ini terdapat pula pada relief di Candi Prambanan. Oleh sebab itu
pencetus sendratari Ramayana ini, yaitu G.P.H. Djatikoe sumo menjadikan Candi
Prambanan sebagai latar belakang panggung pertunjukan. Candi yang megah dan
indah di Indonesia ini merupakan dekor penghias panggung yang tiada tara serta
memiliki keunikan tersendiri, terutama pada waktu bulan purnama, sehingga dapat
membawa penonton ke alam khayal tentang kisah di dalam epos Ramayana ini.
Kehadiran Sendratari Ramayana di panggung terbuka Prambanan pada tahun 1961
merupakan babak baru bentuk seni pertunjukan di Indonesia dan dalam
perkembangannya menjadi acuan bentuk garapan sendratari Ramayana yang
dipentaskan di Yogyakarta, Surakarta, dan daerah lainnya. Bentuk pertunjukan
sendratari ini ingin mencerminkan keragaman kesenian Indonesia, sehingga
berusaha memasukkan unsurunsur gerak tari dari berbagai gaya, dan didukung pula
oleh garapan musik tarinya yang telah tertata sesuai dengan pertimbangan
estetis yang disesuaikan dengan bentuk garapannya. Pembentukan gaya Prambanan
bermula dari dukungan dan interaksi antara komunitas seniman pertunjukan dari
berbagai daerah (Surakarta, Prambanan, dan Yogyakarta), yang terjalin dalam
suatu wadah organisasi seni, yaitu Yayasan Rara Jonggrang. Keunikan bentuk dan
gaya pertunjukan sendratari ini adalah disajikan secara kolosal, dengan
melibatkan berbagai komunitas seniman seniwati dari daerah Prambanan dan
sekitarnya. Para penari yang tampil mulai dari usia 7 tahun sampai kurang lebih
55 tahun. Tulisan lain adalah tulisan Nanik Purwaningsih yang berjudul “Teks
Ramayana dalam Kitab Omong Kosong: Sebuah kajian intertekstual”.
Kedua, sastra lain
yang menarik dikaji untuk historiografi adalah “kumpulan surat-surat masa
lalu.” Surat-surat disini bisa berupa surat personal/ lebih ke individu
maupun surat kabar, majalah beserta
gambar-gambar yang tertera. Tetapi dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan
tentang R.A. Kartini. Terlepas dari berbagai kontroversi yang beredar, nama
R.A. Kartini
tentunya tidak asing lagi bagi kita dan menurut saya, R.A. Kartini tetap
sebagai tokoh wanita pembuka cakrawala bagi bangsa Indonesia.
Dengan Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia nomor 108, tanggal 2 Mei 1964, pemerintah menetapkan R.A. Kartini
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Menurut Soebadio (1979) penghargaan atas
diri Kartini diberikan karena pandangannya yang mulia. Pramoedya Ananta (2007)
menambahkan bahwa Kartini mempunyai pandangan-pandangan yang terdapat dalam
tulisan-tulisannya. Maria Hartiningsih (2000), dalam tulisannya yang berjudul “Tak
Lekang Dimakan Zaman: Surat Kartini”, dalam Kristanto (editor) “Seribu
Tahun Nusantara”mengungkapkan bahwa Kartini mempunyai pandangan yang adil
mengenai posisi wanita dan ketertindasan rakyat di negara jajahan. Hal tersebut
membuat R.A. Kartini menulis tentang
pendidikan dan keadaan rakyat di negara jajahan Belanda. Dari beberapa
pembacaan beberapa sumber tentang R.A. Kartini, saya menyimpulkan beberapa
pokok-pokok pandangan Kartini tentang pendidikan yaitu sebagai berikut: (1).
Beberapa kaum feodal berusaha mempertahankan kebodohan rakyat Jawa (dengan cara
minimnya pendidikan) dalam rangka mempertahankan kedudukan mereka yang mapan,
yaitu sebagai bawahan Belanda, (2). Inti kemajuan suatu bangsa terletak pada
pendidikan, (3). Pendidikan yang didapat dari lingkungan keluarga sangat
berpengaruh bagi kemajuan anak selanjutnya, (4). Pendidikan Eropa bukan
bertujuan untuk menjadikan generasi Jawa yang kebarat-baratan tetapi untuk
memuliakannya, (5). Pentingnya pendidikan etika/moral. Pendidikan yang
diperlukan bukan hanya pendidikan intelektual, melainkan pendidikan
watak/ketabahan, (6). Wanita memegang peranan penting dalam pendidikan moral
pada masyarakat, (7). Pendidikan harus diberikan tanpa pandang bulu/tidak diskriminasi. Dengan melihat pemikiran dalam surat-surat tersebut, kita
dapat melihat konsep-konsep seperti pendidikan, demokrasi, sesuai dengan jiwa
zaman masa tersebut. (lihat lampiran peta pemikiran).
Selain itu
reaksi tokoh-tokoh terhadap pemikiran R.A. Kartini juga bisa dijadikan bahan
analisis interpretasi historiografi modern. “Apakah ada motif-motif tertentu
di balik tokoh-tokoh tersebut?” Misalnya pendapat tokoh-tokoh terhadap R.A.
Kartini berikut ini.
Nyonya Eleanor Roosevelt (istri mantan
Presiden Amerika Serikat) dalam Ihromi mengatakan bahwa Kartini memiliki
pandangan yang tajam mengenai agama dan keinginan untuk menjadi kekuatan
pemersatu. Berikut ini
adalah kutipannya:
“I am delighted to gain the insights which these letters offer.
One little remark in one of the letters is something I think we might all
remember. Kartini says : “We feel that the kernel of all religion is right
living, and that all religion is good and beautiful. But, people what have ye
made of it?” Instead of drawing us together, religion has often forced us apart
and even this young girl realized that is should be a unifying force.”
(Saya senang sekali memperoleh
pandangan-pandangan tajam yang siberikan surat-surat ini. Satu catatan penting
dalam salah satu surat itu menurut saya merupakan sesuatu yang patut kita semua
ingat. Kartini mengatakan: Kami
merasa bahwa inti dari semua agama
adalah hidup yang benar dan bahwa semua agama itu baik dan indah. Akan tetapi
wahai umat manusia, apa yang kalian perbuat dengan dia?” Daripada mempersatukan
kita, agama seringkali memaksa kita terpisah dan sedangkan sedangkan gadis yang
muda ini menyadarinya bahwa ia harus menjadi kekuatan pemersatu.)
Dari pernyataan Nyonya Roosevelt tersebut berarti Kartini
merupakan orang yang ingin mempersatukan perbedaan menjadi satu satu kesatuan.
Dan hal tersebut terlaksana dengan terbentuknya Republik Indonesia yang
memiliki masyarakat yang majemuk dan bersemboyankan “Bhineka Tunggal Ika /
berbeda-beda tetapi tetap satu jua.”
Mr. Van Deventer dalam Soeratman juga pernah mengungkapkan
tentang pemikiran Kartini yang dewasa seperti seorang negarawan.
“Dalam nota-notanya Kartini tidak saja
memperjuangkan kepentingan pribadinya, akan tetapi berulangkali membahas
tentang pendidikan para pemuda bangsanya, suatu
hal yang mencerminkan ketegasan dan pengetahuan tentang masalah yang
dibahasnya, yang sebenarnya baru bisa diketemukan pada seorang negarawan yang
berpengalaman dan tua, dan tidak diharapkan dari seorang gadis Jawa yang
baru berusia 23 tahun…”
Kajian-kajian
tentang sastra masa lalu tersebut menurut saya cukup menarik untuk alat
analisis historiografi modern sekaligus dapat pula sebagai bahan penyusunan Canon.
Benda-benda Sebagai Alternatif Historiografi Modern
Dalam hal ini saya mengambil contoh batik. Tulisan
Sariyatun “Usaha batik masyarakat Cina di Surakarta tahun 1900-1930.”
Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran yang jelas mengenai usaha batik
masyarakat Cina di Surakarta” merupakan tulisan yang cukup menarik untuk
dikaji. Permasalahan yang diangkat menyangkut bagaimana perkembangan masyarakat
Cina di Surakarta dan bagaimana awal mula munculnya usaha batik masyarakat Cina
pada dekade akhir abad XX dan awal abad XX ( antara 1900-1930), hubungan
pengusaha batik Cina-pribumi, perkembangan dalam usaha batik masyarakat Cina,
dan sistem pengupahan dan kondisi kerja serta kesejahteraan buruh batik
masyarakat Cina di Surakarta. Untuk mengungkap permasalahan tersebut digunakan
metode penelitian sejarah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekonomi
politik yakni menjelaskan keberadaan usaha batik masyarakat Cina di Surakarta
berkaitan dengan kebijakan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa eksistensi usaha batik masyarakat Cina di
Surakarta antara tahun 1900-1930 didukung oleh (1). kemampuan menjalin hubungan
dengan penguasa setempat, (2). keunggulan mereka dalam berdagang dibanding para
pedagang pribumi; (3). tersedianya tenaga buruh yang banyak dan murah, serta
(4). mereka lebih dahulu menguasai bahan baku dan obat batik serta perdagangan
batik di luar Surakarta dan Jawa Tengah, (5). modal yang kuat dengan jaringan
kredit, distribusi barang untuk tengkulak dan eceran, serta mampu memasuki
kapital dalam proses produksi batik. Orang-orang Cina menguasai bahan baku
batik sejak sebelum tahun 1890.
Jika penelitian di atas menjadikan batik
sebagai sumber ekonomi, saya melihat batik sebagai alat analis historiografi
modern. “Bagaimana caranya?” Hal tersebut dapat dipelajari lewat
corak-corak yang terdapat di batik itu sendiri. Hal tersebut dapat dihubungkan
dengan selera masyarakat saat itu atau “budaya popular” yang ada pada masa batik itu berkembang karena
pada dasarnya hukum ekonomi berlaku disini yaitu hukum permintaan dan hukum penawaran.
Benda budaya lain misalnya wayang. Menurut Lombard, wayang mencerminkan masyarakat agraris ideal
dengan baik, model budaya Jawa juga dipaparkan dalam sejumlah naskah tertentu.
Pangeran-pangeran Jawa terkemuka telah menulis ajaran berupa “peringatan” dan
“nasihat moral” (piwulang) yang khusus menyajikan suatu pendidikan etika
bagi kalangan priyayi muda, dalam bentuk sajak. Piwulang tersebut telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sering diterbitkan kembali dalam
versi populer dengan tujuan menyebarkan kearifan yang terkandung di dalamnya.
Untuk memberi satu contoh saja, baiklah disebut Wedotomo atau
“pengetahuan utama”, sebuah naskah sepanjang 72 bait yang ditulis oleh
Mangkunegara IV (1853 -1881) dan sudah sering diterbitkan kembali. Terbitan
tahun 1963 (yang dicetak ulang tahun 1965) dilengkapi dengan sebuah komentar
panjang yang dibuat dalam hubungan dengan Manipol-Usdek, yaitu ideologi
Soekarno yang sedang berkembang pada waktu itu.
Menurut
Lombard, seluruh kesusastraan normatif itu menjadi dasar pemikiran Ki Hadjar
Dewantara, seorang ningrat dari Pakualaman Yogyakarta yang seperti telah kita ketahui
pada tahun 1922 melancarkan gerakan Taman Siswa dengan tujuan memadukan
pedagogi Eropa dan tradisional. Tulisannya yang banyak dan sering dibumbuhi
kutipan Fr. Frobel dan M. Montessori sebenarnya banyak mengandung pelajaran
pewayangan. Tujuan pokoknya, menurut penga-kuannya sendiri adalah mencapai
suasana “tertib dan damai” (tata lan
tentrem, orde en vrede) dan mengatur orang “dari natur ke arah kultur, dari kodrat kearah
adab.” Janganlah kita terperdaya oleh istilah-istilah Belanda atau Arab yang
dipakai di sini. Yang kita hadapi adalah gagasan yang betul-betul Jawa dan
sudah kuno. Di balik penampilan liberal itu (biarkan sifat-sifat bawaan
masing-masing orang berkembang sendiri).
Selain itu ada pula, tulisan Amrizal tentang “Transformasi
tatah sungging wayang kulit pedalangan ke wayang kulit cenderamata di Pucung,
Imogiri, Yogyakarta”. Selain itu Susanto “Wayang wong dan tahta :Suatu
kajian tentang politik kesenian Hamengku Buwono VIII 1921-1939.” Tentunya
pengkajian tersebut jika hendak dimasukkan kedalam Canon yang baru, sebaiknya
diteliti secara seksama lagi oleh sejarawan karena banyak tulisan yang
merupakan bukan dari sejarawan, tetapi lebih kepada sastra.
Tradisi Sebagai Alternatif Historiografi Modern
Dalam hal ini saya mengambil contoh budaya
Minangkabau. Menurut Lekkerker dalam Pelly (1994) pada awalnya migrasi pada
masyarakat Minangkabau adalah cara menghindari kungkungan matriarki (dominasi
wanita) karena matrilinial tidak sesuai dengan orang Minangkabau yang dinamik
dan berpendidikan. Hal tersebut juga diungkapkan Abdullah dalam Pelly (1994)
merantau bertujuan untuk mengurangi ketegangan-ketegangan internal yang muncul
dari perselisihan antara perorangan dan masyarakat di satu pihak dan tuntutan sistem
matrilinial di pihak lain. Alam
kosmologi Minangkabau terdiri dari dua alam, yaitu Alam Minangkabau
(Minangkabau World) dan Alam Rantau (Migratory World)
Gambar:
Tradisi perantauan Minangkabau disebut ”Circula Migration.”
Migrasi yang Berputar”
Alam Rantau berfungsi untuk memperkaya Alam Minangkabau, baik
berupa kekayaan maupun pengetahuan. Perantau yang pulang ke kampung Minangkabau
adalah perantau yang sukses. Mereka melihat tempat rantau adalah tempat tinggal
sementara yang digunakan untuk mengumpulkan pengetahuan dan kekayaan. Kampung
halaman Minangkabau adalah tempat tinggal tetap. Titik berat investasi dari
hasil rantau adalah dalam bentuk rumah, pendidikan, tanah/bidang usaha
lainsebagai persiapan di hari tua.
Perantau Minangkabau di Medan mengalami berbagai dinamika
yang mengharuskannya untuk menggeser misi budayanya tanpa menghilangkan budaya
tersebut. Semua pilihan tergantung pada arus sosial dan faktor intern. Perantau
Minang yang berpendidikan cenderung memilih pekerjaan profesional. Suatu
dinamika pasti terjadi dalam dunia sosial, generasi penerus bangsa yang
akhirnya menentukan tolak ukur budaya yang terus berjalan dalam dinamika global
yang semakin hari semakin penuh pergulatan sosial, politik dan budaya. Hal tersebut sejalan dengan
pemikiran Kleden (peta pemikitan dapat dilihat di lampiran). Menurut saya, perubahan tradisi dapat digunakan sebagai alat
analisis historiografi modern. “Mengapa suatu tradisi dapat berubah?”
Hal tersebut dapat digunakan untuk mencari tahu, kondisi pemerintahan, kondisi
masyarakat yang ada dari masa kemasa sesuai jiwa zaman sejarah.
New Historiografi, Building
for Indonesia
“Tetapi apakah semua
historiografi akan tetap berpatokan pada budaya seperti itu? Tentunya, tidak,
karena semua bersifat dinamis. Bagaimana penggunaannya untuk mendapatkan Canon
yang fresh?” Tulisan saya, hanya sebagai suatu pilihan alternatif. Kita
sebagai sejarawan merupakan “Agent of
Change” dalam menguak sejarah, “True
or False” yang pastinya semua adalah “Choice
in Our Life.” Bukan “True or False” saya lebih menganggapnya sebagai Indonesia
dalam kebhinekaan budaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Wahid. 2006. Tesis S2 Sejarah UGM Sejarah:
Bertahan di Tengah Gelombang Krisis: Komunitas Cina dan Ekonomi Kota Cirebon
pada Masa Depresi Ekonomi, 1930-1940. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Adhina, Toeti. 1979. Noblesse Oblige dalam Satu
Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar
Harapan
Afif, Afthonul.
2009. Tesis S2 Magister Psikologi UGM: Strategi Mencapai
Identitas Sosial Positif pada orang Tionghoa Muslim di Yogyakarta. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada
Amrizal. 2010. Tesis
S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM: Transformasi tatah
sungging wayang kulit pedalangan ke wayang kulit cenderamata di Pucung,
Imogiri, Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Ananta, Pramoedya. 2007. Panggil Aku
Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara.
Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan, Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Dahlan, Aisyah. 1979. Inspirasi Kartini di Kalangan
Wanita Muslimat dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai
Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Daruni, Endang. 1988. Kartini Menembus Kegelapan
dalam Seminar Sejarah Wanita Dalam Perspektif Sejarah 22-23 Desember 1988.
Yoyakarta: MSI Cabang Yogyakarta Bekerja sama Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional
Dekker, Nyoman. 1993. Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia Diawali Kebangkitan Nasional Pada Permulaan Abad XX. Malang: IKIP
Malang
Dekker, Nyoman. 1997. Sejarah Pergerakan dan Revolusi
Nasional. Malang: IKIP Malang
Djumhur dan Danasuparta. 1976. Buku Pelajaran Sejarah
Pendidikan Untuk PGA 6 tahun, SPG, KPG dan Sekolah-sekolah/Kursus-kursus Guru
yang Sederajat. CV Ilmu Bandung: Bandung
Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture Overseas ,Praktik
Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Anggota IKAPI
Hardjosatoto, Suhartoyo. 1985. Sejarah Pergerakan
Nasional Indonesia Suatu Analisa Ilmiah. Yoyakarta: Liberty Yogyakarta
Hardjosatoto, Suhartoyo. 1985. Sejarah Pergerakan
Nasional Indonesia Suatu Analisa Ilmiah. Yoyakarta: Liberty Yogyakarta
Harsja, Bachtiar. 1979. Kartini dan Peranan Wanita
Dalam Masyarakat Kita dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan
Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Hartoko, Dick. 1987. Golongan Cendekiawan, Mereka yang
Berumah di Angin Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT. Kesaint Blanc Indah Corp
Ihromi. 1979. Menjadi Pandu Ibuku dalam Satu
Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar
Harapan
Kansil, C. 1968. Sejarah Perjuangan Pergerakan
Kebangsaan Indonesia Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Kansil, C. 1968. Sejarah Perjuangan Pergerakan
Kebangsaan Indonesia Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta:
Penerbit Erlangga
Kartodidjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia
Baru 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Kartodidjo, Sartono. 1998. Pengantar Sejarah Indonesia
Baru Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah & Kritis
Kebudayaan. Jakarta: LP3ES
Kristanto, J.editor. 2000. Seribu Tahun Nusantara.
Jakarta: PT Kompas Nusantara
Legawa, Wayan. 1991. Sejarah Indonesia Baru II.
Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan IKIP Malang Proyek Operasi dan
Perawatan Fasilitas 1991/1992
Lukitaningsih.
2003. Tesis S2 Sejarah UGM Sejarah: Buruh perempuan di Perkebunan
Karet Sumatera Timur 1900-1940.” Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Mestoko, Sumarsono. 1979. Pendidikan di Indonesia dari
Jaman ke Jaman. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.
Montolalu, R. 1979. Kartini Dalam Pers Tempo Dulu dalam
Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta:
Sinar Harapan
Nagazumi, Akira. 1989. Nasionalisme Indonesia, Budi
Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka utama Grafiti
Nasution. 2001.Sejarah Pendidikan Indonesia.
Jakarta: PT Bumi Aksara
Nuraini, Indah.
2003. Tesis S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM: Pembentukan
gaya dalam sendratari Ramayana Yayasan Rara Jonggrang di Panggung terbuka
Prambanan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Pane, Armijn. 1972. Habis Gelap Terbitlah
Terang. Djakarta: PT Balai Pustaka
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES
Priggodigdo, A. 1991. Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia. Jakarta: PT Dian Rakyat
Purwaningsih,
Nanik. 2008. Tesis S2 Sastra UGM: Teks Ramayana dalam Kitab Omong Kosong:
Sebuah kajian intertekstual. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Rickleft,M.C. 2005.
Sejarah Indonesia Modern 1200-2400. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta
Ryadi,Gunawan. 1998. Seminar Kebangkitan Pergerakan Nasional 25-27
Mei 1998. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Sagala, Syaiful. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran,
Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: CV
Alfabeta
Sari, Cahyani Tunggal. 2009. Tesis S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan
Seni Rupa UGM: Manajemen bisnis dan manajemen pertunjukan sendratari Ramayana
Prambanan Yogyakarta tahun 2005-2008. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Sari, Indah Juwita. 2012. Tesis S2 UGM: Persepsi dan Identifikasi Diri
Etnis Minoritas Sebagai Warga Negara, studi kasus: Cina Benteng Tangerang. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada
Sariyatun.
2001. Tesis S2 Sejarah UGM Sejarah: Usaha Batik Masyarakat Cina di Surakarta
tahun 1900-1930. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Sastroatmodjo, Suryanto. 2005. Tragedi Kartini.
Yogyakarta: Penerbit Narasi
Skober, Tanti
Restiasih. 2006. Tesis S2 Sejarah UGM Sejarah: Orang Cina di Bandung
1930-1960: Siasat Etnis Cina di Bandung dalam Menghadapi Kebijakan Penguasa.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Soebadio, Haryati. 1979. Peranan Kartini Untuk Masa
Depan dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta:
Sinar Harapan
Soeratman, Ki. 1979. Kartini dan Pendidikan dalam Satu
Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Soeroto, Sitisoemandiri. 1977. Kartini, Sebuah
Biografi. Jakarta: Gunung Agung
Sudiri, Ktut. 1993. Sejarah Indonesia Baru dari
Pergerakan Nasional Sampai Dekrit Presiden. Malang: Penerbit IKIP Malang
Sudiyo. 1989. Perhimpunan Indonesia Sampai Dengan Lahirnya
Sumpah Pemuda. Jakarta: Bina Aksara
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan
Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Supit, Enny.1979. Kartini: Fakta dan Fiksi dalam Satu
Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar
Harapan
Surat-surat Kartini,
Kekaguman pada yang Tak Pernah Dibaca (Online, http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0304/19/pustaka/263526.htm, diakses Jumat, 26 September 2008)
Surjomihardjo, Abdurrachman.1979. Alam Gagasan Kartini
Dalam Kenyataan Sejarah, Pemikiran
Termasa dan Dunia Lambang dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan
Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Susanto. 1996. Tesis
S2 Sejarah UGM. Wayang wong dan tahta :: Suatu kajian tentang politik kesenian
Hamengku Buwono VIII 1921-1939. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Sutriyanto.
2009. Tesis S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM:
Komparasi Busana Wayang Kulit Purwa Gaya Keraton Yogyakarta dan Gaya Keraton
Surakarta: Kajian Bentuk Dan Makna. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Tim Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
1978. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidiakan dan
Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia
Waluyo. 2007. Tesis S2 Sejarah UGM Sejarah: Dari Kuli Perkebunan
Menuju Masyarakat Perkotaan :: Kehidupan Komunitas Cina di Medan 1888-1940.
Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Warsidi, Edi. 2007. Meneladani Kepahlawanan
Kaum Wanita. Bandung: Yudhistira
LAMPIRAN
|
[1] Monica Frensia Mega
Fishera adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada. Penulis juga pengurus Himpunan Mahasiswa Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada bidang Jurnal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar