Halaman

Jumat, 01 Maret 2013

Dibuat untuk memenuhi UAS Mata Kuliah Historiografi New Historisisme, Dekonstruksi, Representasi Sejarah (Suatu Alternatif Baru dalam Penulisan Canon “Sejarah Nasional Indonesia”)


Monica Frensia Mega Fishera[1]
“Kami hendak bebaskan diri kami sama sekali dari ikatan-ikatan yang melekat pada diri kami dan menghambat kemajuan kami akan kami kebaskan, agar  jiwa kami menjadi segar dan bebas, agar makin lebarlah sayap dapat dikepakkan, demi kebaikan usaha yang akan kami lakukan.”
 (Surat R.A. Kartini, 10 Juni 1902, kepada Nyonya Abendanon)
 Pendahuluan
            Jika kita mengingat kembali kumpulan surat tulisan R.A. Kartini yang populer yang saya ambil sebagai pembuka dalam tulisan ini, tentunya kita berpikir tentang suatu pernyataan “Apakah Indonesia sekarang masih terikat pada invisible hand atau tangan-tangan tak terlihat  yang mengekang bangsa ini?” Memang secara yuridis, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang merdeka, tetapi menurut saya secara mental kita masih terikat pada invisible hand yang menurut saya punya daya yang besar untuk mendominasi mind set masyarakat secara luas dengan kekuatan “akal.” Menurut saya, pembahasan tersebut dapat dikaitkan dengan “Historiografi Canon.”
            Jika kita mengingat istilah “Canon” yang diindentikkan dengan “Buku Babon Negara,” pastilah kita mengingat 6 jilid buku “Sejarah Nasional Indonesia” yang merupakan buku induk untuk memahami Sejarah Nasional Indonesia. Kekritisan kita tentunya membawa kita pada istilah “Nasional” yang melekat pada judul buku itu sendiri yaitu “Sejarah Nasional Indonesia.” Nasional sendiri berasal dari natie (bahasa Belanda) atau nation (bahasa Inggris), yang berarti bangsa. Menurut Hardjosatoto (1985) nasional adalah sekelompok manusia yang mempunyai asal-usul yang sama (ras/keturunan). Kemudian Sudiri (1993) menambahkan bahwa terdapat beberapa teori mengenai bangsa yaitu:
a.       Cultuur natie theori (teori bangsa berdasarkan kebudayaan). Menurut teori ini, bangsa adalah sekelompok menusia yang mempunyai persamaan kebudayaan.
b.      Staats natie theorie (teori bangsa berdasarkan negara). Menurut teori ini, bangsa adalah sekelompok manusia yang hidup dalam lingkungan satu negara.
c.       Gevoels en wils theorie (teori bangsa berdasarkan persamaan perasaan dan kehendak). Menurut teori ini, bangsa adalah sekelompok manusia yang mempunyai persamaan perasaan dan kehendak. Jadi, nasional berarti sekelompok manusia yang hidup dalam suatu negara dan berasal dari kebudayaan/keturunan/ras yang sama.
Mengingat tentang kata “Nasional” tentunya secara sadar atau tidak tentunya buku tersebut bertujuan untuk membangun nasionalisme bangsa. Tetapi pertanyaan yang mendasar, dengan membaca definisi nation di atas adalah “Apakah buku Sejarah Nasional Indonesia yang sekarang sudah merupakan representasi dari nation bangsa yang sesungguhnya?” “Apakah untuk membangun nasionalisme bangsa tersebut harus mengunggulkan satu aspek dan mengkerdilkan aspek lain?” Menurut saya, Canon lama seperti Sejarah Nasional Indonesia, yang membutuhkan dekonstruksi ulang dengan lebih melihat pada sudut pandang lain dengan cara menyoroti tentang keadaan berbagai keadaan sejarah. Ego saya berpikir suatu pertanyaan yang sederhana yaitu “Apakah sebenarnya dapat dikatakan bahwa Canon sebagai gaya Penjajahan baru yang Nyata Oleh Negara?” Alternatif seperti apa yang mungkin bisa dimasukkan dalam Canon Baru sebagai New Historisisme, Dekonstruksi, Representasi Sejarah?” Berikut ini, saya akan mencoba menawarkan alternatif historiografi “New Historisisme” dalam Canon yang mugkin menurut saya sempat terabaikan dalam historiografi Canon yang telah ada saat ini. Ini tentunya suatu upaya untuk  membuka cakrawala baru yang sebenarnya telah ada bibit-bibit yang membahas tentang hal tersebut.
Menurut saya, sebuah representasi yang baik dari nation  dalam Canon adalah diangkatnya budaya sebagai cerminan nilai luhur bangsa. Dilihat dari sudut pandang seorang sejarawan, menurut saya sangat layak peninggalan budaya dijadikan suatu alternatif  historiografi.  Uraian saya selanjutnya akan banyak berbicara tentang “Bagaimana sebaiknya historigrafi Indonesia jika dikaitkan dengan peninggalan seni budaya?
  
Marginalisasi Budaya dan Kajian Budaya Ahli
Bakker (1984) mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat-istiadat. Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai antar keseluruhan pengetahaun manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Budaya adalah pikiran, akal budi, hasil, adat-istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan susah diubah.  Sedangkan  menurut Kleden (1987) kebudayaan adalah dialektik antara ketenangan dan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan desintegrasi, antara tradisi dan reformasi. Tanpa tradisi atau integrasi suatu kebudayaan menjadi tanpa identitas, sedangkan tanpa reformasi/tanpa desintegrasi nsuatu kebudayaan akan kehilangan kemungkinan untuk berkembang/memperbarui diri/menyesuaikan diri dengan perubahan sosial. Persoalan tiap-tiap kebudayaan adalah efek saja yang ditimbulkan oleh tradisi dan reformasi dalam kebudayaan.
Dengan melihat pengertian budaya tersebut, budaya itu sendiri sebaiknya dikembangkan dan menyesuaikan diri, maka menurut saya, sungguh suatu yang tepat jika seni budaya dijadikan sebagai alat analisis alternatif untuk mengkaji sejarah. Selain untuk mempertebal “rasa kebangsaan”, hal tersebut juga dapat digunakan agar budaya tersebut tidak “termarginalisasi di tempat yang seharusnya budaya tersebut dapat tetap eksis sebagai identitas suatu bangsa”, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa memang tidak ada budaya yang original.
Anthony H. Johns, seorang Profesor Sastra dan Bahasa Indonesia dari Australian National University, mampu membuka cakrawala baru dalam mengenai historiografi tradisional Indonesia, dalam tulisannya yang berjudul "The Role of Stuctural Organisation and Myth in Javanese Historiography." Tulisan tersebut menarik untuk dikaji yaitu mengkaji mitos yang merupakan budaya bangsa. Tulisan John bercerita tentang Pararaton dan Babad Tanah Jawi.
Menurut John, pengantar Pararaton, bukanlah dongeng belaka, tetapi menggambarkan kepercayaan orang-orang Jawa tentang raja dan hampir dapat mengggambarkan peran raja dalam konsep orang Jawa. Saya setuju dengan pendapat John tersebut. Dalam konsep kebudayaan Jawa mengajarkan hubungan yang harmoni antara makrokosmos dan mikrokosmos. Konsep pertama dapat diartikan sebagai jagad gedhe atau alam semesta yang memiliki tatanan sendiri yang diatur oleh kekuatan-kekuatan supranatural sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu penguasa (raja) wajib menjaga hubungan-hubungan yang harmonis terhadap kekuatan-kekuatan supranatural agar tidak terjadi guncangan hebat di muka bumi.
Menurut John Babad Tanah Jawi, berisi tulisan yang dibukukan yang dapat menceritakan kekuasaan Sultan Agung (1613-1645). John juga berpendapat bahwa pengantar pada Babad Tanah Jawi, lebih kompleks dibandingkan dengan Pararaton titik awal penulisannya dimulai di Jawa Tengah, Mataram, oleh Senapati tahun 1582, dimana yang ditulis adalah pada saat Mataram mencapai puncak kejayaannya, yaitu pada masa Sultan Agung, cucu dari Senopati. Ditinjau secara tehnik-tehnik untuk mengakhiri cerita yang digunakan oleh penulis Babad Tanah Jawi berbeda dengan Pararaton, John berpendapat bahwa Ken Arok berkuasa bukan karena berdasarkan keturunan, sebagaimana Senopati, tetapi dengan melakukan petualangan dengan menempuh berbagai ujian. Ken Arok tidak menghubungkan dirinya dengan keraton sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Senopati yang tidak hanya menghubungkan dirinya dengan satu keraton ke keraton lainnya, tetapi juga menggunakan tanda-tanda kebesaran dari keraton yang terdahulu ke keraton berikutnya.
John menduga bahwa sama dengan Babad Tanah Jawi sama dengan Pararaton yaitu berfungsi sebagai legitimasi. Meskipun tetap ada perbedaan antara keduanya. Selain itu, menurut John, tujuan penulisan Babad Tanah Jawi adalah untuk menunjukkan unsur ketuhanan atau untuk menunjukkan fungsi raja sebagai penghubung mikrokosmos dan makrokosmos, itu memang hak mereka. John menduga bahwa babad Sultan Agung merupakan hasil revisi dan adaptasi dari Babad Pajang dan Babad Pajang pun merupakan turunan dari Babad Demak.
Menurut John, mitos dan simbol memerankan peranan yang sangat penting pada Babad Tanah Jawi bila dibandingkan dengan Pararaton. Oleh karena itu, berlebihan bila keduanya hanya dipandang sebagai mitos belaka. “Disamping memuat mitos, karya tradisional, juga memiliki realisme sejarah atau fakta, sama seperti halnya historiografi modern.” Fakta itulah, yang kiranya dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh sejarawan sebagai pedoman untuk membaca pola kesejarahan suatu masyarakat yang ingin diteliti-tentunya, setelah melalui kritik sumber.
Jika John menyebut “mitos dan karya tradisional”, saya lebih senang menyebutnya sebagai seni budaya karena menurut saya mitos dan karya tradisional merupakan penyebutan yang lebih khusus dan lebih kearah sastra tradisional sebagai alternatif  untuk historiografi modern, dan alternatif yang saya tawarkan bukan hanya sekedar  sastra.

Sastra Sebagai Alternatif Historiografi Modern
 Pertama, tulisan sastra yang cukup menarik digunakan dalam mengkaji historiografi  adalah sastra tradisional seperti cerita Ramayana.  Ramayana disini dapat dikaitkan dengan “Bagaimana kondisi sejarah kerajaan Mataram Hindu maupun dapat digunakan untuk menganalisis sejarah sendratari ramayana yang dikaitkan dengan kondisi perekonomian masyarakat sekitar Prambanan?” Sebuah tulisan milik Indah Nuraini yang berjudul “Pembentukan gaya dalam sendratari Ramayana Yayasan Rara Jonggrang di Panggung terbuka Prambanan” menurut saya cukup menarik walau beliau bukan seorang sejarawan. Ceritera Ramayana merupakan sebuah epos yang sudah dikenal di seluruh Asia, bahkan dunia, dan di Indonesia ceritera Ramayana ini terdapat pula pada relief di Candi Prambanan. Oleh sebab itu pencetus sendratari Ramayana ini, yaitu G.P.H. Djatikoe sumo menjadikan Candi Prambanan sebagai latar belakang panggung pertunjukan. Candi yang megah dan indah di Indonesia ini merupakan dekor penghias panggung yang tiada tara serta memiliki keunikan tersendiri, terutama pada waktu bulan purnama, sehingga dapat membawa penonton ke alam khayal tentang kisah di dalam epos Ramayana ini. Kehadiran Sendratari Ramayana di panggung terbuka Prambanan pada tahun 1961 merupakan babak baru bentuk seni pertunjukan di Indonesia dan dalam perkembangannya menjadi acuan bentuk garapan sendratari Ramayana yang dipentaskan di Yogyakarta, Surakarta, dan daerah lainnya. Bentuk pertunjukan sendratari ini ingin mencerminkan keragaman kesenian Indonesia, sehingga berusaha memasukkan unsurunsur gerak tari dari berbagai gaya, dan didukung pula oleh garapan musik tarinya yang telah tertata sesuai dengan pertimbangan estetis yang disesuaikan dengan bentuk garapannya. Pembentukan gaya Prambanan bermula dari dukungan dan interaksi antara komunitas seniman pertunjukan dari berbagai daerah (Surakarta, Prambanan, dan Yogyakarta), yang terjalin dalam suatu wadah organisasi seni, yaitu Yayasan Rara Jonggrang. Keunikan bentuk dan gaya pertunjukan sendratari ini adalah disajikan secara kolosal, dengan melibatkan berbagai komunitas seniman seniwati dari daerah Prambanan dan sekitarnya. Para penari yang tampil mulai dari usia 7 tahun sampai kurang lebih 55 tahun. Tulisan lain adalah tulisan Nanik Purwaningsih yang berjudul “Teks Ramayana dalam Kitab Omong Kosong: Sebuah kajian intertekstual”.
Kedua, sastra lain yang menarik dikaji untuk historiografi adalah “kumpulan surat-surat masa lalu.” Surat-surat disini bisa berupa surat personal/ lebih ke individu maupun surat kabar, majalah  beserta gambar-gambar yang tertera. Tetapi dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan tentang R.A. Kartini. Terlepas dari berbagai kontroversi yang beredar, nama R.A. Kartini tentunya tidak asing lagi bagi kita dan menurut saya, R.A. Kartini tetap sebagai tokoh wanita pembuka cakrawala bagi bangsa Indonesia.
Dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 108, tanggal 2 Mei 1964, pemerintah menetapkan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Menurut Soebadio (1979) penghargaan atas diri Kartini diberikan karena pandangannya yang mulia. Pramoedya Ananta (2007) menambahkan bahwa Kartini mempunyai pandangan-pandangan yang terdapat dalam tulisan-tulisannya. Maria Hartiningsih (2000), dalam tulisannya yang berjudul “Tak Lekang Dimakan Zaman: Surat Kartini”, dalam Kristanto (editor) “Seribu Tahun Nusantara”mengungkapkan bahwa Kartini mempunyai pandangan yang adil mengenai posisi wanita dan ketertindasan rakyat di negara jajahan. Hal tersebut membuat  R.A. Kartini menulis tentang pendidikan dan keadaan rakyat di negara jajahan Belanda. Dari beberapa pembacaan beberapa sumber tentang R.A. Kartini, saya menyimpulkan beberapa pokok-pokok pandangan Kartini tentang pendidikan yaitu sebagai berikut: (1). Beberapa kaum feodal berusaha mempertahankan kebodohan rakyat Jawa (dengan cara minimnya pendidikan) dalam rangka mempertahankan kedudukan mereka yang mapan, yaitu sebagai bawahan Belanda, (2). Inti kemajuan suatu bangsa terletak pada pendidikan, (3). Pendidikan yang didapat dari lingkungan keluarga sangat berpengaruh bagi kemajuan anak selanjutnya, (4). Pendidikan Eropa bukan bertujuan untuk menjadikan generasi Jawa yang kebarat-baratan tetapi untuk memuliakannya, (5). Pentingnya pendidikan etika/moral. Pendidikan yang diperlukan bukan hanya pendidikan intelektual, melainkan pendidikan watak/ketabahan, (6). Wanita memegang peranan penting dalam pendidikan moral pada masyarakat, (7). Pendidikan harus diberikan tanpa pandang bulu/tidak diskriminasi. Dengan melihat pemikiran dalam surat-surat tersebut, kita dapat melihat konsep-konsep seperti pendidikan, demokrasi, sesuai dengan jiwa zaman masa tersebut. (lihat lampiran peta pemikiran).
Selain itu reaksi tokoh-tokoh terhadap pemikiran R.A. Kartini juga bisa dijadikan bahan analisis interpretasi historiografi modern. “Apakah ada motif-motif tertentu di balik tokoh-tokoh tersebut?” Misalnya pendapat tokoh-tokoh terhadap R.A. Kartini berikut ini.
Nyonya Eleanor Roosevelt (istri mantan Presiden Amerika Serikat) dalam Ihromi mengatakan bahwa Kartini memiliki pandangan yang tajam mengenai agama dan keinginan untuk menjadi kekuatan pemersatu. Berikut ini adalah kutipannya:
I am delighted to gain the insights which these letters offer. One little remark in one of the letters is something I think we might all remember. Kartini says : “We feel that the kernel of all religion is right living, and that all religion is good and beautiful. But, people what have ye made of it?” Instead of drawing us together, religion has often forced us apart and even this young girl realized that is should be a unifying force.
(Saya senang sekali memperoleh pandangan-pandangan tajam yang siberikan surat-surat ini. Satu catatan penting dalam salah satu surat itu menurut saya merupakan sesuatu yang patut kita semua ingat. Kartini mengatakan:  Kami merasa  bahwa inti dari semua agama adalah hidup yang benar dan bahwa semua agama itu baik dan indah. Akan tetapi wahai umat manusia, apa yang kalian perbuat dengan dia?” Daripada mempersatukan kita, agama seringkali memaksa kita terpisah dan sedangkan sedangkan gadis yang muda ini menyadarinya bahwa ia harus menjadi kekuatan pemersatu.)

Dari pernyataan Nyonya Roosevelt tersebut berarti Kartini merupakan orang yang ingin mempersatukan perbedaan menjadi satu satu kesatuan. Dan hal tersebut terlaksana dengan terbentuknya Republik Indonesia yang memiliki masyarakat yang majemuk dan bersemboyankan “Bhineka Tunggal Ika / berbeda-beda tetapi tetap satu jua.”
Mr. Van Deventer dalam Soeratman juga pernah mengungkapkan tentang pemikiran Kartini yang dewasa seperti seorang negarawan.
“Dalam nota-notanya Kartini tidak saja memperjuangkan kepentingan pribadinya, akan tetapi berulangkali membahas tentang pendidikan para pemuda bangsanya, suatu  hal yang mencerminkan ketegasan dan pengetahuan tentang masalah yang dibahasnya, yang sebenarnya baru bisa diketemukan pada seorang negarawan yang berpengalaman dan tua, dan tidak diharapkan dari seorang gadis Jawa yang baru  berusia 23 tahun…”
Kajian-kajian tentang sastra masa lalu tersebut menurut saya cukup menarik untuk alat analisis historiografi modern sekaligus dapat pula sebagai bahan penyusunan Canon.
Benda-benda Sebagai Alternatif Historiografi Modern
Dalam hal ini saya mengambil contoh batik. Tulisan Sariyatun “Usaha batik masyarakat Cina di Surakarta tahun 1900-1930.” Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran yang jelas mengenai usaha batik masyarakat Cina di Surakarta” merupakan tulisan yang cukup menarik untuk dikaji. Permasalahan yang diangkat menyangkut bagaimana perkembangan masyarakat Cina di Surakarta dan bagaimana awal mula munculnya usaha batik masyarakat Cina pada dekade akhir abad XX dan awal abad XX ( antara 1900-1930), hubungan pengusaha batik Cina-pribumi, perkembangan dalam usaha batik masyarakat Cina, dan sistem pengupahan dan kondisi kerja serta kesejahteraan buruh batik masyarakat Cina di Surakarta. Untuk mengungkap permasalahan tersebut digunakan metode penelitian sejarah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekonomi politik yakni menjelaskan keberadaan usaha batik masyarakat Cina di Surakarta berkaitan dengan kebijakan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi usaha batik masyarakat Cina di Surakarta antara tahun 1900-1930 didukung oleh (1). kemampuan menjalin hubungan dengan penguasa setempat, (2). keunggulan mereka dalam berdagang dibanding para pedagang pribumi; (3). tersedianya tenaga buruh yang banyak dan murah, serta (4). mereka lebih dahulu menguasai bahan baku dan obat batik serta perdagangan batik di luar Surakarta dan Jawa Tengah, (5). modal yang kuat dengan jaringan kredit, distribusi barang untuk tengkulak dan eceran, serta mampu memasuki kapital dalam proses produksi batik. Orang-orang Cina menguasai bahan baku batik sejak sebelum tahun 1890.
Jika penelitian di atas menjadikan batik sebagai sumber ekonomi, saya melihat batik sebagai alat analis historiografi modern. “Bagaimana caranya?” Hal tersebut dapat dipelajari lewat corak-corak yang terdapat di batik itu sendiri. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan selera masyarakat saat itu atau “budaya popular”  yang ada pada masa batik itu berkembang karena pada dasarnya hukum ekonomi berlaku disini yaitu hukum permintaan dan hukum penawaran.
Benda budaya lain misalnya wayang. Menurut Lombard, wayang mencerminkan masyarakat agraris ideal dengan baik, model budaya Jawa juga dipaparkan dalam sejumlah naskah tertentu. Pangeran-pangeran Jawa terkemuka telah menulis ajaran berupa “peringatan” dan “nasihat moral” (piwulang) yang khusus menyajikan suatu pendidikan etika bagi kalangan priyayi muda, dalam bentuk sajak. Piwulang tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sering diterbitkan kembali dalam versi populer dengan tujuan menyebarkan kearifan yang terkandung di dalamnya. Untuk memberi satu contoh saja, baiklah disebut Wedotomo atau “pengetahuan utama”, sebuah naskah sepanjang 72 bait yang ditulis oleh Mangkunegara IV (1853 -1881) dan sudah sering diterbitkan kembali. Terbitan tahun 1963 (yang dicetak ulang tahun 1965) dilengkapi dengan sebuah komentar panjang yang dibuat dalam hubungan dengan Manipol-Usdek, yaitu ideologi Soekarno yang sedang berkembang pada waktu itu.
Menurut Lombard, seluruh kesusastraan normatif itu menjadi dasar pemikiran Ki Hadjar Dewantara, seorang ningrat dari Pakualaman Yogyakarta yang seperti telah kita ketahui pada tahun 1922 melancarkan gerakan Taman Siswa dengan tujuan memadukan pedagogi Eropa dan tradisional. Tulisannya yang banyak dan sering dibumbuhi kutipan Fr. Frobel dan M. Montessori sebenarnya banyak mengandung pelajaran pewayangan. Tujuan pokoknya, menurut penga-kuannya sendiri adalah mencapai suasana “tertib dan damai” (tata  lan tentrem, orde en vrede) dan mengatur orang  “dari natur ke arah kultur, dari kodrat kearah adab.” Janganlah kita terperdaya oleh istilah-istilah Belanda atau Arab yang dipakai di sini. Yang kita hadapi adalah gagasan yang betul-betul Jawa dan sudah kuno. Di balik penampilan liberal itu (biarkan sifat-sifat bawaan masing-masing orang berkembang sendiri).
Selain itu ada pula, tulisan Amrizal tentang “Transformasi tatah sungging wayang kulit pedalangan ke wayang kulit cenderamata di Pucung, Imogiri, Yogyakarta”. Selain itu Susanto “Wayang wong dan tahta :Suatu kajian tentang politik kesenian Hamengku Buwono VIII 1921-1939.” Tentunya pengkajian tersebut jika hendak dimasukkan kedalam Canon yang baru, sebaiknya diteliti secara seksama lagi oleh sejarawan karena banyak tulisan yang merupakan bukan dari sejarawan, tetapi lebih kepada sastra.
Tradisi Sebagai Alternatif Historiografi Modern
Dalam hal ini saya mengambil contoh budaya Minangkabau. Menurut Lekkerker dalam Pelly (1994) pada awalnya migrasi pada masyarakat Minangkabau adalah cara menghindari kungkungan matriarki (dominasi wanita) karena matrilinial tidak sesuai dengan orang Minangkabau yang dinamik dan berpendidikan. Hal tersebut juga diungkapkan Abdullah dalam Pelly (1994) merantau bertujuan untuk mengurangi ketegangan-ketegangan internal yang muncul dari perselisihan antara perorangan dan masyarakat di satu pihak dan tuntutan sistem matrilinial di pihak lain.  Alam kosmologi Minangkabau terdiri dari dua alam, yaitu Alam Minangkabau (Minangkabau World) dan Alam Rantau (Migratory World)
Gambar: Tradisi perantauan Minangkabau disebut ”Circula Migration.” 
                                         Migrasi yang Berputar”
Alam Rantau berfungsi untuk memperkaya Alam Minangkabau, baik berupa kekayaan maupun pengetahuan. Perantau yang pulang ke kampung Minangkabau adalah perantau yang sukses. Mereka melihat tempat rantau adalah tempat tinggal sementara yang digunakan untuk mengumpulkan pengetahuan dan kekayaan. Kampung halaman Minangkabau adalah tempat tinggal tetap. Titik berat investasi dari hasil rantau adalah dalam bentuk rumah, pendidikan, tanah/bidang usaha lainsebagai persiapan di hari tua.
Perantau Minangkabau di Medan mengalami berbagai dinamika yang mengharuskannya untuk menggeser misi budayanya tanpa menghilangkan budaya tersebut. Semua pilihan tergantung pada arus sosial dan faktor intern. Perantau Minang yang berpendidikan cenderung memilih pekerjaan profesional. Suatu dinamika pasti terjadi dalam dunia sosial, generasi penerus bangsa yang akhirnya menentukan tolak ukur budaya yang terus berjalan dalam dinamika global yang semakin hari semakin penuh pergulatan sosial, politik  dan budaya. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Kleden (peta pemikitan dapat dilihat di lampiran). Menurut saya, perubahan tradisi dapat digunakan sebagai alat analisis historiografi modern. “Mengapa suatu tradisi dapat berubah?” Hal tersebut dapat digunakan untuk mencari tahu, kondisi pemerintahan, kondisi masyarakat yang ada dari masa kemasa sesuai jiwa zaman sejarah.  
New Historiografi,  Building for Indonesia
“Tetapi apakah semua historiografi akan tetap berpatokan pada budaya seperti itu? Tentunya, tidak, karena semua bersifat dinamis. Bagaimana penggunaannya untuk mendapatkan Canon yang fresh?” Tulisan saya, hanya sebagai suatu pilihan alternatif. Kita sebagai sejarawan merupakan “Agent of Change” dalam menguak sejarah, “True or False” yang pastinya semua adalah “Choice in Our Life.” Bukan “True or False” saya lebih menganggapnya sebagai Indonesia dalam kebhinekaan budaya.


 DAFTAR PUSTAKA
 Abdul  Wahid. 2006. Tesis S2 Sejarah UGM Sejarah: Bertahan di Tengah Gelombang Krisis: Komunitas Cina dan Ekonomi Kota Cirebon pada Masa Depresi Ekonomi, 1930-1940. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Adhina, Toeti. 1979. Noblesse Oblige dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Afif, Afthonul. 2009. Tesis S2 Magister Psikologi UGM: Strategi Mencapai Identitas Sosial Positif pada orang Tionghoa Muslim di Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Amrizal. 2010. Tesis S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM: Transformasi tatah sungging wayang kulit pedalangan ke wayang kulit cenderamata di Pucung, Imogiri, Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Ananta, Pramoedya. 2007. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara. 
Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Dahlan, Aisyah. 1979. Inspirasi Kartini di Kalangan Wanita Muslimat dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Daruni, Endang. 1988. Kartini Menembus Kegelapan dalam Seminar Sejarah Wanita Dalam Perspektif Sejarah 22-23 Desember 1988. Yoyakarta: MSI Cabang Yogyakarta Bekerja sama Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Dekker, Nyoman. 1993. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Diawali Kebangkitan Nasional Pada Permulaan Abad XX. Malang: IKIP Malang
Dekker, Nyoman. 1997. Sejarah Pergerakan dan Revolusi Nasional. Malang: IKIP Malang
Djumhur dan Danasuparta. 1976. Buku Pelajaran Sejarah Pendidikan Untuk PGA 6 tahun, SPG, KPG dan Sekolah-sekolah/Kursus-kursus Guru yang Sederajat. CV Ilmu Bandung: Bandung
Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture Overseas ,Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPI
Hardjosatoto, Suhartoyo. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Suatu Analisa Ilmiah. Yoyakarta: Liberty Yogyakarta
Hardjosatoto, Suhartoyo. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Suatu Analisa Ilmiah. Yoyakarta: Liberty Yogyakarta
Harsja, Bachtiar. 1979. Kartini dan Peranan Wanita Dalam Masyarakat Kita dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Hartoko, Dick. 1987. Golongan Cendekiawan, Mereka yang Berumah di Angin Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT. Kesaint Blanc Indah Corp
Ihromi. 1979. Menjadi Pandu Ibuku dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Kansil, C. 1968. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Penerbit Erlangga
Kansil, C. 1968. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Penerbit Erlangga
Kartodidjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Kartodidjo, Sartono. 1998. Pengantar Sejarah Indonesia Baru Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah & Kritis Kebudayaan. Jakarta: LP3ES
Kristanto, J.editor. 2000. Seribu Tahun Nusantara. Jakarta: PT Kompas Nusantara 
Legawa, Wayan. 1991. Sejarah Indonesia Baru II. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan IKIP Malang Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas 1991/1992
Lukitaningsih. 2003. Tesis S2 Sejarah UGM Sejarah: Buruh perempuan di Perkebunan Karet Sumatera Timur 1900-1940.” Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Mestoko, Sumarsono. 1979. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.
Montolalu, R. 1979. Kartini Dalam Pers Tempo Dulu dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Nagazumi, Akira. 1989. Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka utama Grafiti
Nasution. 2001.Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara
Nuraini, Indah. 2003. Tesis S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM: Pembentukan gaya dalam sendratari Ramayana Yayasan Rara Jonggrang di Panggung terbuka Prambanan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Pane, Armijn. 1972. Habis Gelap Terbitlah Terang. Djakarta: PT Balai Pustaka
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES
Priggodigdo, A. 1991. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: PT Dian Rakyat
Purwaningsih, Nanik. 2008. Tesis S2 Sastra UGM: Teks Ramayana dalam Kitab Omong Kosong: Sebuah kajian intertekstual. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Rickleft,M.C. 2005.  Sejarah Indonesia Modern 1200-2400. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Ryadi,Gunawan. 1998. Seminar Kebangkitan Pergerakan Nasional 25-27 Mei 1998. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Sagala, Syaiful. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran, Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: CV Alfabeta
Sari, Cahyani Tunggal. 2009. Tesis S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM: Manajemen bisnis dan manajemen pertunjukan sendratari Ramayana Prambanan Yogyakarta tahun 2005-2008. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Sari, Indah Juwita. 2012. Tesis S2 UGM: Persepsi dan Identifikasi Diri Etnis Minoritas Sebagai Warga Negara, studi kasus: Cina Benteng Tangerang. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Sariyatun. 2001. Tesis S2 Sejarah UGM Sejarah: Usaha Batik Masyarakat Cina di Surakarta tahun 1900-1930. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Sastroatmodjo, Suryanto. 2005. Tragedi Kartini. Yogyakarta: Penerbit Narasi
Skober, Tanti Restiasih. 2006. Tesis S2 Sejarah UGM Sejarah: Orang Cina di Bandung 1930-1960: Siasat Etnis Cina di Bandung dalam Menghadapi Kebijakan Penguasa. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Soebadio, Haryati. 1979. Peranan Kartini Untuk Masa Depan dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Soeratman, Ki. 1979. Kartini dan Pendidikan dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Soeroto, Sitisoemandiri. 1977. Kartini, Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung
Sudiri, Ktut. 1993. Sejarah Indonesia Baru dari Pergerakan Nasional Sampai Dekrit Presiden. Malang: Penerbit IKIP Malang
Sudiyo. 1989. Perhimpunan Indonesia Sampai Dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Jakarta: Bina Aksara
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Supit, Enny.1979. Kartini: Fakta dan Fiksi dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Surat-surat Kartini, Kekaguman pada yang Tak Pernah Dibaca (Online, http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0304/19/pustaka/263526.htm, diakses Jumat, 26 September 2008)
Surjomihardjo, Abdurrachman.1979. Alam Gagasan Kartini Dalam Kenyataan  Sejarah, Pemikiran Termasa dan Dunia Lambang dalam Satu Abad Kartini, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan
Susanto. 1996. Tesis S2 Sejarah UGM. Wayang wong dan tahta :: Suatu kajian tentang politik kesenian Hamengku Buwono VIII 1921-1939. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Sutriyanto. 2009. Tesis S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM: Komparasi Busana Wayang Kulit Purwa Gaya Keraton Yogyakarta dan Gaya Keraton Surakarta: Kajian Bentuk Dan Makna. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002.  Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Tim Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidiakan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia
Waluyo. 2007. Tesis S2 Sejarah UGM Sejarah: Dari Kuli Perkebunan Menuju Masyarakat Perkotaan :: Kehidupan Komunitas Cina di Medan 1888-1940. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Warsidi, Edi. 2007. Meneladani Kepahlawanan Kaum Wanita. Bandung: Yudhistira

LAMPIRAN

Gambar:  Pemikiran Kartini menurut penulis, yang datanya diolah dari berbagai sumber
 
Gambar: Peta Pemikiran rekontruksi penulis,  menurut Kleden (1987)

 




































































[1] Monica Frensia Mega Fishera adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Penulis juga pengurus Himpunan Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada bidang Jurnal.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar