Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Syair Sultan Fansuri dalam “Sultan, Pahlawan dan Hakim”


Nama                        : Suriani
NIM                           : 12/338550/PSA/7236
Syair Sultan Fansuri
            Sebelum menuju ke penjelasan yang lebih jauh, sedikit saya beri penjelasan awal tentang syair. Kata syair berasal dari bahasa Arab yang berarti perasaan. Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam perkembangannya, syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga syair di desain sesuai dengan keadaan dan situasi yang terjadi[1]. Syair dan prosa adalah salah satu produk dari historiografi tradisional. Sebagai contoh adalah Syair Sultan Fansuri yang dijelaskan oleh Henri Chambert-Lior dalam tulisannya.
Naskah Syair Sultan Fansuri adalah sebuah teks yang di dalamnya terdapat dua bagian, yaitu bagian awalnya puisi dan bagian selanjutnya prosa.  Syair ini memiliki daya tarik melalui isinya yang bernilai sejarah[2]. Isi dari syair ini adalah mengenai sebuah riwayat raja yang memerintah, dan ilmu pemerintah, mengenai sejarah Barus (Fansur).
Untuk memahami cerita sejarah dalam Syair Sultan Fansuri ini, syair ini tidak bisa dibaca sendiri, harus dibarengi oleh teks pendukung lain, seperti Hikayat Tjrita Barus, Kronik Hulu dan Hilir dan teks-teks lainnya. Teks-teks tersebut mengungkapkan fakta sejarah tentang keadaan-keadaan di Barus pada masa itu, baik kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Sehingga sedikit saja celah kosong yang mungkin akan tidak berisi dalam penceritaan dan penulisasn sejarah Barus selanjutnya.
Melalui teks-teks tersebut juga kita bisa menemukan banyak fakta lainnya, diantaranya cerita tentang silsilah raja-raja Barus, selanjutnya terbentuknya dua kerajaan Hulu dan Hilir, interaksi Barus dengan Aceh, interaksi sultan dengan pemerintah kolonial dan fakta sejarah lainnya. Fakta-fakta tersebut tidak tertulis secara langsung, namun tersirat melalui kata-kata yang disusun dalam padanan berlarik, berirama dan rima.  
Sama seperti naskah-naskah kuno (tradisional) lainnya, dalam Syair Sultan Fansuri ini, selain unsur fakta, kita juga akan menemukan unsur legenda. Contoh yang saya ambil dalam syair ini yang mengungkapkan fakta adalah beberapa baris yang berbunyi :
  …..
Itulah asal mula kerajaan                                            turun temurun sampai sekarang
Baginda Sultan empunya kata                                    Ibunya Sultan bapaknya Raja
Raja di ulu bapak kandungnya                                   Raja di ilir ibu kandungnya

            Dari potongan syair tersebut fakta yang tersirat adalah tentang Raja Hulu, Sutan Baginda yang ayahnya adalah raja sebelumnya di Hulu dan ibunya adalah putri dari Raja Hilir[3]. Ini membuktikan bahwa  ada dua kerajaan, yaitu Hulu dan Hilir yang memiliki hubungan baik. Hal tersebut juga diketahui melalui kronik yang kemudian dipublikasikan oleh J. Drakard (2003). Selain fakta tersebut, banyak lagi fakta-fakta sejarah lainnya yang dapat kita temukan dalam syair dan teks-teks mengenai Barus.
Selanjutnya, unsur legenda dari syair ini dapat ditemukan melalui cerita tentang  kepala Sultan Ibrahim yang walaupun sudah terpotong dapat memalingkan wajahnya ketika dihadapkan dengan raja Aceh. Kemudian kepala itu ditendang Raja Aceh dan karenanya Raja Aceh sakit, sehingga akhirnya kepala Sultan Ibrahim di kembalikan ke Barus, dan seteah kepala Sultan dipermulia barulah Raja Aceh sehat kembali.
Syair dan prosa-prosa melayu sebagai produk historiografi tradisional dalam penulisannya, seperti yang dijelaskan melalui contoh di atas, isinya memang mengandung fakta sejarah, namun untuk mendapatkan fakta tersebut dituntut interpretasi yang rumit, harus benar-benar bisa mencari penjelasan-penjelasan lain yang mendukung tentang cerita atau peristiwa-peristiwa dalam syair atau prosa tersebut. Melalui tulisannya, Henry berusaha mengungkapkan fakta tersebut dengan penjelasan-penjelasannya melalui analisis naskah-naskah tersebut walaupun mash belum sempurna.
Historiografi selaku konstruk atau produk karya pujangga atau sejarawan, tidak hanya berfokus pada substansi cerita atau deskripsi, melainkan juga perlu melihat pada kerangka subjektif pujangga atau sejarawan. Sehingga tidak hanya fakta historis yang menjadi pusat perhatian, tetapi juga faktor kontekstual dan juga unsur-unsur subyektifnya.[4]
Dari penjelasan tersebut, jika dikaitkan dengan penmbahsan syair diatas  adalah bahwa yang perlu dilihat dari syair tersebut adalah fakta-fakta sejarah yang tersembunyi dalam susunan larik-larik dari pujangga sebagai penulisnya. Dan terbukti bahwa setelah banyak penelitian dan pengkajian mendetil tentang syair tersebut, melalui antropolog J. Drakard, Van der Tuuk dan Wieringa ditemukan fakta-fakta sejarah yang sebelumnya tidak terungkapkan. Jika hanya orang awam yang membaca naskah tersebut, maka akan sangat sulit untuk menginterpretasikan isi dari naskah tersebut yang sebenarnya.


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Syair, 24 September 2012, 16:39 wib
[2] Henri Chambert-Lior. Sultan, Pahlawan dan Hakim. (KPG : Jakarta, 2011), hal 58
[3] Jane Drakard. Sejarah Raja-Raja Barus : Dua Naskah dari Barus. (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2003), hal 163
[4] Sartono Kartodirdjo, Refleksi Kesejarahan Dari Prespektif Reformatif , hal 3 dalam buku “Dari Samudera Pasai Sampai ke Yogyakarta” (Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia : Jakarta, 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar