Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Review Kuliah Umum Tanggal 20 Desember 2012

Nama : Adif Fahrizal
NIM : 12/339539/PSA/7316


Penulisan sejarah dewasa ini mengalami perkembangan yang semakin pesat. Jika seabad lalu penulisan sejarah masih berbicara tentang peristiwa politik dan orang-orang besar maka kini kecenderungan penulisan sejarah semakin bergeser ke arah sejarah sosial. Dalam pengertiannya yang luas, sejarah sosial bisa diartikan sebagai sejarah total yaitu sejarah yang mencoba merangkum dan menjelaskan proses sejarah ditinjau dari berbagai aspek kehidupan manusia. Sejarah sosial bisa pula berarti sejarah kehidupan sehari-hari (daily life history) yang meskipun terkesan remeh namun jika dilihat dengan perspektif yang lebih luas membentuk suatu pola yang membangun bagian tak terpisahkan dari kehidupan komunitas manusia beserta segala relasinya dengan pelbagai aspek kehidupan. Sejarah sosial juga dapat dipahami sejarah dari bawah (history from below), sejarah orang-orang kecil, atau sejarah orang-orang yang ter(di)singkirkan dalam narasi besar sejarah resmi.
Perbincangan mengenai sejarah sosial itulah yang mengemuka dalam kuliah umum tentang historiografi di Ruang Multimedia Gedung Margono Djojohadikusumo FIB UGM tanggal 20 Desember 2012 lalu. Dua orang pembicara, masing-masing Guo Quan Seng, sejarawan Singapura yang sedang menempuh studi doktoral di University of Chicago, dan Michael G. Vann, dosen tamu di Jurusan Ilmu Sejarah FIB UGM asal University of California AS, memaparkan apa yang mereka pahami tentang sejarah sosial dengan berangkat dari pengalaman mereka masing-masing dalam melakukan penelitian sejarah. Guo bercerita tentang pengalamannya meneliti kehidupan seorang tokoh serikat buruh yang perannya dimarjinalkan dalam sejarah resmi Singapura. Sedangkan Vann menceritakan pengalamannya meneliti tentang kehidupan kaum kolonis Perancis di kota Hanoi Vietnam pada akhir abad ke19-awal abad ke-20.
Dari kedua pembicara tersebut, saya ingin lebih menyoroti apa yang dikemukakan Vann. Lewat presentasi yang kerap diselipi humor segar Vann berbagi pengalamannya yang menarik ketika melakukan penelitian. Berawal dari kejenuhan sewaktu menelusuri arsip-arsip resmi dan peta kota masa kolonial Vann mencari inspirasi dengan membaca beberapa buku sejarah sosial Eropa yang lalu memberinya ide untuk menulis suatu sejarah yang “berbeda”. Ia pun kembali menelusuri arsip-arsip kolonial dan lewat pengamatannya yang jeli Vann menemukan suatu fakta menarik mengenai peningkatan populasi tikus (sic.!) di kota Hanoi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Penemuan ini mengantarkannya pada studi tentang wabah pes yang melanda kota kolonial Hanoi pada periode tersebut. Wabah pes jelas bukan suatu tema penulisan sejarah yang diminati para sejarawan konvensional yang lebih tertarik membahas masalah politik. Akan tetapi di balik suatu peristiwa yang dipandang sebelah mata semacam itu Vann mampu mengungkap bagaimana wabah pes itu berjalin-berkelindan dengan kebijakan kolonial dan persepsi kolonial yang rasis serta bagaimana masyarakat terjajah –yang kerap dianggap bodoh oleh pihak kolonialis- menyiasati sebuah epidemi untuk meraih keuntungan yang dapat pula ditafsirkan sebagai bentuk perlawanan diam-diam kepada kekuasaan kolonial. Dalam bagian lain dari kuliah umumnya Vann juga mengungkap bagaimana ideologi kolonialisme, rasisme, dan orientalisme beroperasi lewat analisisnya atas berbagai hal yang sering luput dari pengamatan kebanyakan orang seperti ruang kota, karikatur, hingga kartu pos.
Apa yang dipaparkan Vann sejatinya adalah sebuah tawaran mengenai penulisan sejarah sosial yang mencoba melihat sejarah dengan cara yang lain. Tawaran Vann itu seolah hendak mendobrak kredo “tiada sejarah tanpa dokumen” (no documents no history) yang sadar atau tidak masih dianut banyak sejarawan, khususnya di Indonesia. Vann membuktikan bahwa hal-hal yang sering diabaikan karena sudah menjadi bagian yang kelewat biasa dari kehidupan sehari-hari sekalipun dapat menjadi sumber sejarah yang berharga. Di Indonesia penulisan sejarah semacam itu perlahan-lahan sudah mulai berkembang meskipun mungkin belum menjadi arus utama dalam historiografi Indonesia. Generasi sejarawan baru Indonesia dewasa ini sudah mulai berani menulis tema-tema non-konvensional di luar arus besar sejarah politik dan ekonomi yang masih mendominasi penulisan sejarah di Indonesia, suatu hal yang 3 dasawarsa lalu masih belum terbayangkan.
Jikalau ada kritik atas tawaran Vann maka itu lebih pada pertanyaan realistiskah bila pendekatan yang ia gunakan itu segera diaplikasikan di Indonesia? Sudah mampukah para sejarawan Indonesia menulis sejarah non-konvensional yang berkualitas? Perlu digarisbawahi bahwa penulisan sejarah bukan semata soal mengumpulkan data dan merangkaikannya secara kronologis hingga menjadi sebuah cerita. Nilai atau kualitas sebuah historiografi ditentukan oleh seberapa mampu historiografi itu memberikan eksplanasi atas realitas masa lalu yang pada gilirannya akan relevan pula bagi kita yang hidup di masa kini. Sekadar menulis sejarah (baca: kronik) dengan tema-tema yang tidak lazim adalah hal yang relatif mudah, yang sulit adalah bagaimana agar karya sejarah itu memiliki kekuatan eksplanasi yang memadai. Tanpa itu maka sejarah hanya akan menjadi antikuarian. Bisa dibayangkan, jika sejarah dengan tema-tema besar seperti politik atau ekonomi saja bisa terjebak menjadi antikuarian bila tidak memiliki kekuatan eksplanasi memadai yang berakibat pula pada ketiadaan relevansi karya tersebut bagi masa kini apatah lagi sejarah yang mengangkat tema menyangkut hal-hal 'remeh-temeh' di masa lalu. Kekuatan eksplanasi sebuah historiografi pada dasarnya berpangkal pada penguasaan metodologi atau kerangka berpikir pada diri seorang sejarawan. Tanpa penguasaan metodologi maka akan sangat mudah bagi seorang sejarawan menulis sebuah historiografi antikuarian yang tidak banyak gunanya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, apatah lagi untuk hal-hal yang lebih praktis sifatnya. Maka dari itu sebelum berbicara mengenai penulisan sejarah non-konvensional ada baiknya kualitas para sejarawan dari segi penguasaan metodologi diperbaiki terlebih dahulu. Jika tidak demikian maka jangan salahkan bila sejarah terus dipandang sebagai ilmu tentang tahun-tahun dan tanggal-tanggal yang tidak ada relevansinya dalam kehidupan nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar