Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah: Heather Sutherland Sebuah Cerminan Penulisan Sejarah Indonesia


Fatma
12/336677/PSA/07190

        Penulisan sejarah selalu dipengaruhi jiwa zamannya (zeit geiz). Sangat tepat menggambarkan bahwa penulisan sejarah (historiografi) selalu berkembang dari masa ke masa. Inilah inti pemikiran Heather Sutherland dalam artikelnya. Menurutnya ada dua hal yang mempengaruhi perkembangan historiografi, yakni (1). Bagaimana sejarawan menulis sejarah dalam gelanggang politik dan budaya yang berubah-ubah. Unsur subjektifitas tidak dapat dipisahkan dari perubahan tersebut. Persoalan subyektifitas dan objektifitas sejarawan selalu menjadi bahan perdebatan dalam penulisan sejarah. Menurut Sartono Kartodirdjo, penggambaran peneliti (sejarawan) mengenai peristiwa sangat bergantung pada segi (sisi) mana pandangan dan pada dimensi mana perhatian (sejarawan) diarahkan, serta unsur-unsur mana yang hendak diungkap.[1] (2). Persoalan teoritis dan praktis yang dihadapi peneliti ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa lalu untuk masa kini. Persoalan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu sosial, seperti munculnya paradigma ilmu sosial baru sebagai kritik ataupun perbaikan dari paradigma ilmu sosial lama. Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut juga berdampak pada kajian ilmu sejarah berupa keragaman eksplanasi dan keragaman epistemologis.[2]
Heather Sutherland juga membahas persoalan Eropasentrisme dan politik sejarah, terutama dalam masyarakat majemuk pascakolonial yang terus hangat diperbincangkan. Setelah dekolonisasi, disadari bahwa sejarawan harus melangkah untuk menjauhi perspektif yang Eropasentris. Ini berarti sumber lokal menjadi bagian penting dalam penulisan sejarah. Seperti di Indonesia pada pasca seminar tahun 1957, sejarawan Indonesia mencoba merumuskan historiografi Indonesia (Indonesiasentrisme). Indonesiasenterisme diharapkan menjadi pencerahan baru dalam historiografi Indonesia pascakolonial. Sejarawan pada masa-masa itu berusaha menjauhi sumber-sumber kolonial dan berusaha keluar dari Europasentrisme. Namun, kenyataanya Indonesiasentrisme hanya terkesan seperti tradisi historiografi kolonialsentris yang ingin digantikan.[3]
            Peran negara dalam penulisan sejarah tak luput dari perhatian Heather Sutherland. Menurutnya, penulisan sejarah nasional terkait erat dengan legitimasi negara dan identitas nasional. Negara berusaha menghadirkan sejarah nasional yang memberikan legitimasi kepadanya. Untuk mencapai hal ini, maka identitas-identitas lama dan konflik-konflik lama harus ditempatkan jauh di bawah narasi kemenangan nasionalime. Begitupun, dengan sejarah lokal yang bertentangan dengan pandangan negara, ia hanya dianggap sebagai cerita rakyat dan terkesan terlupakan. Fenomena ini terlihat jelas dalam historiografi Indonesia masa orde baru. Bagaimana negara menjadi penguasa segala bidang kehidupan termaksud sejarah nasional. Pemerintah Orde Baru mencoba menghapus memori sejarah masyarakat Indonesia dengan menghadirkan memori sejarah baru yang telah di interpertasikan berdasarkan kepentingannya. Ini terbukti dengan munculnya enam jilid SNI (Sejarah Nasional Indonesia) pada masa Orde Baru. Sama halnya, Orde Baru menyusun ulang seluruh epik komunisme di Indonesia sehingga peranan itu muncul sebagai penyimpangan kecil tetapi berbahaya dari jalan nasional.[4] Orde Baru juga berusaha menghapus perspektif  dan identitas lokal dalam sejarah nasional. Sejarawan pada masa ini terkesan berada di bawah pelukan pemerintah. Namun, ini bukan berarti tidak memunculkan perlawan dari sejarawan kritis yang berusaha melawan pemerintah, walaupun nasibnya berakhir di balik jeruji besi dan tiang gantungan.
            Heather Sutherland juga melihat perdebatan pascamodernisme sebagai masalah yang paling umum dihadapi sejarawan. Ia mengemukakan dua hal; Pertama, analisis logika jika dilakukan secara ekstrim dapat melampaui batas yang berguna dan merusak, begitupun dengan analisis lingusitik dan budaya. Kedua, ia mengkritisi pemisahan antara modernisme dan pascamodernisme, antara realitas dan khayalan, antara tekad untuk berpegang pada satu kebenaran tunggal dan relativisme penuh juga tidak mampu mencerminkan kompleksitas dan kekaburan pengalaman. Ia menyadari bahwa ini adalah sebuah kompromi dengan penulisan sejarah yang ditentukan oleh budaya, bukan hanya Eropasentrisme. Inilah yang patut di contoh oleh para sejarawan Indonesia generasi berikutnya. Bagaimana mereka dapat bercermin dari sejarah historiografi Indonesia sebagai bukti pembelajaran masa lalu. Sehingga, harapan untuk menghadirkan historiografi Indonesia yang berada ditengah-tengah persepektif Indonesiasentrisme dan Eropasentrisme dapat tercapai. Hal ini mengingatkan pada kalimat yang dikemukakan oleh Leopold Von Ranke bahwa “Setiap Generasi Berhak Menulis Sejarahnya Sendiri.






[1] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 1-35.
[2] Bambang Purwanto. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (Yogyakarta: Ombak, 2006)
[3]  Opcit, Hal xv.
[4]  Zulbuchen, 2005 dikutip dalam Heather Sutherland, 2008, hal 41. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar