Halaman

Senin, 07 Januari 2013

Membebaskan “Benak yang Terbelenggu”


Membebaskan “Benak yang Terbelenggu”:
Ilmu Sosial di Asia dalam Wacana Alternatif[1]

Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 7)

Pada 1957 terbit sebuah buku yang disusun oleh Vera Micheles Dean. Tajuk bukunya The Nature of Non-Western World. Dean tidak sendirian menyusunnya. Harry J. Benda, Varren S. Hunsberger, dan Vernon McKay menyumbang pikiran dalam buku Dean dengan masing-masing kepakarannya mengulas permasalahan di China, Asia Tenggara, Jepang, Amerika Latin, hingga Afrika. Pokoknya, segala kawasan yang berada di luar konsep wilayah Barat ditempatkan dan diperlakukan khusus dalam buku itu.
            Terkhusus kawasan Asia, dipetakan dalam buku itu dalam batas-batas kekhasannya tersendiri. Kawasan Asia Barat (sebagai bagian dari Timur Tengah) dikatakan sebagai ruang “Islam versus westernism”; India dan Pakistan sebagai ruang “Anglo-Asia synthesis”; China sebagai ruang saing “Confucius and Commissars[2] Jepang sebagai “Asian Westernism”; dan Asia Tenggara sebagai “non-Western pluralism” yang tengah mengalami transisi selepas masa kolonial.
            Setidaknya ada dua hal menarik dari buku Dean. Pertama, untuk menyebut Asia (dan kawasan lainnya) perlu disebut dengan istilah non-western. Kedua, dan ini yang lebih kentara, (istilah) Barat selalu hadir dalam segala batas-batas dunia Asia. Dengan kata lain, Barat selalu menghantui, membayangi, hingga menguasai ruang hidup dunia Asia. Kuasa Barat menyelinap halus khususnya melalui pandangan-pandangan ilmu sosial mereka. Dalam hal ini, kajian-kajian akademis selepas kolonial yang mengusung orientalisme dengan tetap berkiblat pada Barat (baca: Eurosentrisme) memunculkan polemik pemikiran tersendiri di dunia Asia yang dibahas dalam buku Dean itu. Asia adalah salah satu dunia yang mengalami “keterbelengguan benak” karena pengaruh ilmu-ilmu sosial Barat yang kuat memengaruhi alam pikiran Asia. Menariknya, tigapuluh sembilan tahun sebelum Samuel P. Huntington menerbitkan pemikiran kontroversialnya dalam The Clash of Civilization (1996), buku Dean telah memetakan wajah Asia yang menyekam masalah dan konflik. Pelbagai konsep dan teori ilmu sosial seringkali dipakai untuk memecahkan masalah di Asia. Ini menunjukkan awetnya dominasi Barat yang kian kemari kian kokoh sebagai kiblat ilmu sosial di Asia. Lalu, selesaikah semua masalah? Kenyataannya, tidak seluruhnya bisa diharapkan. Tengok saja, selepas Perang Dingin dan rontoknya satu demi satu rezim komunis di Asia, muncul dan mekar radikalisme Islam sebagai simbol baru menentang Barat. Ilmu sosial Barat acap hadir sebagai –meminjam istilah Francis Fukuyama– sebagai “the last man” yang bisa menyelesaikan rupa-rupa masalah di Asia. Tapi mengapa ilmu sosial Barat ibarat dua sisi mata uang: diterima tapi juga dihujat? Apakah ini menunjukkan ketidak-sesuaian konteks ilmu sosial Barat dengan realita Asia?
            Memang, ada Edward Said yang pada 1978 menerbitkan Orientalism sebagai sebentuk responsnya atas praktik dan pemikiran para orientalis Barat dalam masa kesilamannya menginferiorisasi Timur. Malah pada 1991, Hassan Hanafi, seorang filsuf kiri dari Mesir yang merasa belum puas dengan Said, menerbitkan Occidentalism demi membalikkan kemapanan Barat memandang Timur. Tapi, apakah ini semua berarti membebaskan “benak dari keterbelengguan” ilmu-ilmu sosial Barat?  
Nyatanya, tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Sebab akar masalahnya ada pada ketidak-seimbangan pemikiran para ilmuwan sosial Barat dengan kenyataan Asia. Ditambah kebergantungan ilmuwan sosial Asia terhadap ilmu-ilmu sosial Barat begitu besar. Hingga akhirnya, sebuah wacana alternatif  dari Syed Farid Alatas mencoba menengahi dan memecah kebuntuan wacana. Istilah “the captive mind” (benak terbelenggu) –yang istilahnya telah saya pinjam di muka tulisan ini– dipakai Alatas untuk menunjuk ketergantungan ilmu sosial di Asia terhadap Barat yang kadung diamini sebagai sumber peradaban pengetahuan.
Dalam wacananya, Alatas bukan bermaksud mengabaikan permasalahan Eurosentrisme dan Orientalisme. Justru dikatakannya, ia ingin mengimbangi ilmu sosial yang Eurosentris. Alatas melakukan ini karena ia sadar diri bahwa bagaimanapun konteks yang dominan tetaplah Eurosentrisme (hal. xv). Hanya kesadaran diri ini bukan berarti tetap mendudukan ilmu sosial Asia sebagai yang inferior. Pengimbangan yang dilakukan Alatas memagut pada sifat dan konsekuensi hubungan antara komunitas ilmu sosial di Asia dengan koleganya di Barat (khususnya Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis).
Memang, kegairahan terhadap impor ilmu sosial Barat ke Asia makin tinggi seiring besarnya arus masuk dan penerjemahan buku-buku asing atau kian banyaknya ilmuwan sosial di Asia lulusan dari negara-negara Barat. Terkesan distribusi ilmu sosial Barat ini membawa pada pencerahan. Tapi nyatanya, dikatakan Alatas, juga memunculkan benak-benak yang terbelenggu. Alatas mengatakan ini semua sebagai sebentuk captive mind, beralaskan pada kecenderungan ilmuwan sosial di Asia yang mana tatkala mereka mempelajari masyarakatnya sendiri, mereka sebenarnya terbelenggu dalam perspektif ilmuwan-ilmuwan sosial Barat yang menopang pemikirannya. Ditambah lagi mereka enggan ke luar dari “halaman rumahnya” sendiri. Berbeda dengan para ilmuwan Barat yang memiliki kepakaran dunia sebagai Sinolog, Islamolog, atau Indonesianis.
Umumnya para ilmuwan sosial Asia lebih berkutat dengan riset empiris yang terkait dengan kebijakan. Akibatnya, seperti dikatakan Alatas, karya ilmuwan sosial di Asia kekurangan perspektif perbandingan dan hanya memberi kontribusi pas-pasan terhadap teori (hal. xvi – xvii). Pernyataan Alatas ini menarik. Lebih-lebih ia mengambil contoh karya-karya Marx dan Weber yang menjadi landasan para sosiolog, antropolog, dan sejarawan Asia dalam menelaah India, China dan Islam. Yang diwanti-wanti Alatas, perlunya kesadaran para ilmuwan Asia untuk menghindari pembacaan makna-makna Eropa ke dalam data non-Eropa. Inilah yang agaknya memampatkan kontribusi teori sosial Asia yang dikatakan Alatas: “pas-pasan.”
Meski begitu, keterbelengguan ini tidak merata terjadi di seluruh Asia. Didapati adanya skala perbandingan antarnegara di Asia. India misalnya, punya ciri khas yang kuat dengan tren Subaltern Studies dalam kajian-kajian sosialnya. Sebut saja Gayatri Spivak sebagai corong ilmu sosial Asia yang diakui dan ditanggap oleh publik ilmuwan sosial di Eropa. Spivak adalah satu contoh sintesis relasi “Barat – Asia” yang lebih melampaui konsep “Anglo – Asia” yang disematkan Dean terhadap India. Spivak ingin mendekonstruksi historiografi India untuk melepas segala inferiorisasi yang dikonstruksi Inggris selaku eks-kolonialisnya.
Studi subaltern tentu salah satu saja alternatif. Tapi, apa yang diinginkan Alatas lebih luas dari lokus studi Spivak. Selama kelindan istilah: “dunia ketiga” dan “negara berkembang” yang jamak dipakai oleh Ilmuwan Asia, maka Alatas akan bilang bahwa benak-benak Asia masihlah terbelenggu. Alatas ingin mengajak kita untuk membebaskan benak-benak yang terbelenggu dari segala perangkap ilmu sosial Barat tersebut. Tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.  


[1] Pembacaan atas Syed Farid Alatas. 2005. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia. Bandung: Mizan (bab Pendahuluan)
[2] Sebuah ejekan kepada rezim komunis China

Tidak ada komentar:

Posting Komentar