Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Mary Catherine Quilty Chapter Three: Sex, Race and Contract


Nama              : Fatma
NIM                  : 12/336677/PSA/07190

Tulisan Mary Catherine Quilty telah memberikan cara pandang baru dalam historiografi Indonesia. Metode yang dipilih Mary Catherine dalam menulis yakni mendiskusikan karya-karya Ilmuan Inggris yang mengkaji Indonesia. Catherine mencoba membandingkan tulisan-tulisan ilmuan Inggris mulai dari yang paling awal meneliti sampai yang terakhir, yaitu Marsden, Symes, Raffles, Crawfurd dan Anderson. Hasil bacaannya mengenai tulisan-tulisan kelima penulis abad XVIII dan IX tersebut, ia menemukan fakta bahwa dalam masyarakat nusantara (Indonesia) masa itu terdapat pembedaan berdasarkan jenis kelamin dalam kekuasaan. Kemudian terlihat juga ada ruang-ruang khusus yang menempatkan perempuan berada di pinggiran kekuasaan, padahal berada di pusat kekuasaan itu sendiri. Sehingga terasa sekali, jika kekuasaan itu masih milik laki-laki. Bukti konkritnya, mungkin sulit sekali ditemukan seorang wanita yang ikut menandatangani perjanjian dengan pemerintah Belanda (VOC atau Hindia Belanda). Apa yang membuat kondisi riil itu terjadi? Jawabannya adalah budaya patriarki yang melekat pada sistem kebudayaan masyarakat. Budaya yang memandang bahwa laki-laki lebih utama dari perempuan.
Melalui cara membandingkan tulisan-tulisan tersebut, Catherine berhasil mengungkapkan fenomena sejarah ekonomi dengan menemukan fakta budaya patriarki yang sangat mengakar dalam kebudayaan Indonesia telah memposisikan perempuan sebagai “the second class”, dan hal ini hanya dilihat dari perspektif kebudayaan saja. Padahal budaya “patriarki” dapat dilihat dari berbagai prespektif (ekonomi, sosial, dan politik). Patriarki telah mengurangi akses perempuan dalam dunia publik. Dari sisi ekonomi, Perempuan tetap diposisikan sebagai ibu yang menjalankan tugas-tugas rumah tangga demi kesejahteraan keluarga. Sisi Sosial, perempuan “dilarang” atau mungkin pula hanya diatasi saja untuk mengikuti kegiatan sosial di luar kehidupan sehari-harinya. Begitu juga di bidang politik, budaya “patriarki” dapat menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Implikasi dari delegasi laki-laki, yakni sistem feodal menjadikan kehidupan menjadi milik laki-laki. Sementara perempuan hanya berada di ruang privat yakin ruang pribadi, seksualitas, dan perkawinan.
Patriarki dapat memunculkan pembagian kelompok atau ras dalam masyarakat.  Pembagian kelompok pribumi, kulit putih, Cina, Arab. Perempuan dan non-Eropa ras yang kurang beruntung di bawah kontrak ke titik di mana perbudakan. Pra-ada hierarki rasial menemukan pembenaran baru dalam ilmu ekonomi. Buruh dibagi sepanjang garis ras menurut kemampuan alami, sebagai penduduk Asia Tenggara yang mendukung perekonomian Inggris melalui tenaga kerja dan konsumsi. Dalam kasus ini perempuan mengalami ketidaksetaraan.
Menariknya lagi, Chaterine juga menyampaikan bahwa perempuan Indonesia pada penulisan teks-teks dari Inggris tidak ditempatkan sebagai pelaku utama dalam sejarah. Mereka hanya diposisikan sebagai pelengkap sejarah. Perempuan dipandang sebagai penjaga peradaban.
Penulis buku ini juga pada dasarnya telah memberikan kritik terhadap penulisan sejarah gaya kolonial. Historiografi kolonial umumnya hanya menekankan pada aspek politik saja, sementara aspek-aspek lain seperti terabaikan begitu saja. Salah satunya adalah yang disampaikan oleh Chaterine dalam bukunya tersebut. Namun demikian, sang penulis tidak pernah menyalahkan para penulis sebelumnya, sebab ia memahami bahwa sejarah tidak dipergunakan untuk menyalahkan orang lai. Kritik yang dilontarkan sebenarnya hanyalah sebuah pertanggungjawaban ilmiah guna melengkapi fakta-fakta sejarah yang telah ditulis sebelumnya. Chaterine telah membuktikan kekurangan penulisan sejarah kolonial, walaupun  mereka berasal dari Inggris, bukan dari Belanda. Olehnya itu, perspektif baru seperti yang diinginkan oleh perkembangan historiografi kini menjadi dasar menarik dalam menulis sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar