Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

“Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia”,oleh Syed Farid Alatas


NAMA           : HANIF RISA MUSTAFA
NIM               : 12/338345/PSA/07221
MAKUL         : HISTIRIOGRAFI

Review:Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia”,oleh Syed Farid Alatas

“Bab 8 Menimbang Kembali Pengajaran Ilmu Sosial”

Pada bab delapan ini, secara implisit kita diajak oleh penulis, Syed Farid Alatas untuk memunculkan teori-teori non-Eurosentrisme. Yang selama ini dalam pengajaran ilmu sosial banyak di dominasi oleh teori-teori Eurosentrisme dan mengesampingkan teori-teori Orientalisme. Notabenya teori-teori Orientalisme setara dengan  teori-teori Eurosentrisme yang selama ini dipelajari dalam dunia pendidikan timur. Selain mengajak kita memunculkan teori-teori non-Eurosentrisme, penulis juga membecirakan Eurosentrisme dalam kurikulum ilmu sosial, dengan contoh pengajaran teori soiologi serta mengusulkan cara menanganinya.
Pada kurikulum ilmu sosial, Eurosentrisme banyak menonjolkan dikotomi subjek-objek, orang-orang Eropa sebagai perintis serta tokoh yang terdepan dalam ilmu sosial, dan dominasi kategori serta konsep Eropa. Dikotomi subjek-objek oleh pemikiran Eurosentrisme membuat orang-orang timur termajinalkan pada sebuah konsep “objek”. pemikiran Eurosentrisme mengeneralisasikan bahwa “subjek” adalah ilmuwan sosial yang berfikir dan menulis, yang dimaksudkan adalah orang-orang Eropa. Selanjutnya orang-orang non-Eurosentrisme sebagai sumber teori dan ide-ide sosiologi, dengan kata lain orang-orang non-Eurosentrisme adalah “objek” penelitian. Jika ditelisik lebih dalam antara subjek-objek adalah bangsa barat yang meneliti disebut sebagai subjek dan bangsa timur yang diteliti disebut objek untuk membangun sebuah teori sosial. Konsep pemikiran ini menciptakan suatu pemahaman yang mematikan bagi orang-orang non-Eurosentrisme. Menjadikan orang-orang non-Eurosentrisme tidak memiliki ruang gerak yang bebas dalam  ilmu sosial dan menempatkan orang-orang non-Eurosentrisme sebagai konsumen teori-teori yang dimunculkan oleh orang-orang Eurosentrisme. Kasus seperti ini menempatkan orang-orang Eurosentrisme sebagai yang terdepan serta perintis dalam ilmu-ilmu sosial dan menjadikan yang paling utama untuk dipelajari. Seperti dalam kuliah sejarah pemikiran dan teori sosial, yang mengedepankan teori-teori Mark, Weber, Durkheim, Simmel, Montesquieu, Vico, Comre, Spencer, Toennies, Sombart, Mannheim, Pareto, Summer, Ward, Small dan lainnya. Sedangkan orang-orang non-Eurosentrisme, yang notabenya memiliki banyak pemikir sosial yang sejaman dengan para pemikir sosial eropa -yang telah disebutkan- hanya disinggung secara singkat bahkan diabaikan. Contoh pemikir dari non-Eurosentrisme ialah Jose Rizal (Filipina, 1861-1896), Benoy Kumar Sarkar (India, 1887-1949), dan Yanagita Kunio (Jepang, 1875-1962).
Sebuah karya yang menarik oleh Becker dan Barnes dengan judul “Social Thought from Lore to Science”. Membicarakan ide-ide Ibnu Khaldun secara terperinci. Becker dan Barnes mengakui bahwa Ibnu Khaldun masuk ke barat dengan mempengaruhi ide-ide pemikir Eropa. Namun karena pemikiran orang-orang Eurosentrisme yang sudah terekonstruksi dalam pembelajaran ilmu sosial, menjadikan ilmu-ilmu sosial yang dipelajari selama ini didominasi oleh teori, konsep, dan kategori yang dikembangkan Eurosentrisme. Dalam kenyataannya –seperti yang dikutip oleh Syed Farid Alatas dari Chakrabarty- bahwa “mustahil memikirkan tempat lain tanpa memakai beberapa konsepdan katagori yang berurat-berakar dalam tradisi intelektual, bahkan teologi, eropa”. Tidak mustahil apabila Eurosentrisme sedikit terpengaruh oleh pemikiran ibnu Khaldun.
Gagasan-gagasan dan pengembangan pendekatan pengetahuan yang lebih universal dari orang-orang non-Eurosentrisme merupakan jalan membalikkan dikotomi yang dimunculkan dari Eurosentrisme. Menyangkut hal tersebut, pembalikan yang dibutuhkan orang-orang non-Eurosentrisme adalah menunjukkan beberapa masalah dalam Eurosentrisme. Penulis mencontohkan masalah Eurosentrisme dengan mengambil konsep religi dari Joachim Matthes. Religion dari bahasa latin religio, merupakan sebuah istilah kolektif yang merujuk pada berbagai praktek dan kultus di Roma. Munculnya Kristiani di Roma, menggeser istilah  Religion kepada kegiatan kepercayaan diluar kepercayaan Kristiani. Bahkan reformasi Protestan oleh Luther yang memisahkan diri dari Gereja Katolik, diasosiasikan sebagai Religion. Sehingga Religion hanya diperuntukkan untuk diluar Katolik yang dianggap sebagai kepercayaan sah Roma. Ketika istilah Religion diterapkan pada kepercayaan selain Kristen Katolik-seperti islam,hindu,budha-, mengakibatkan pengaburan realitas. Menurut Matthes –yang dikutip oleh penulis- logika perbandingan seharusnya membandingkan dua hal yang berada dibawah unit abstraksi ketiga yang lebih tinggi. Dicontohkan buah apel dan buah pir dibawah unit buah-buahan, buah merupakan tertium comparationis (bagian ketiga perbandingan). Begitu pula perbandingan antara Kristen dan islam yang diletakkan dibawah unit Religion. Dan Religion sebagai tertium comparationis. tertium comparationis menunjukkan masalah pemahaman oleh Eurosentrisme. Pendekatan yang tepat untuk mengembangkan tertium comparationis adalah dengan jalan pengembangan diskursus alternatif. Diskursus alternatif ini harus melampaui kritik atas Eurosentrisme agar muncul konsep dan kategori baru, penafsiran sejarah baru. Akan tetapi orang-orang non-Eurosentrisme belum memulai untuk mengkritik Eurosentrisme, dan sampai sekarang sebagian besar hanya masih menerima konsep dan kategori Eurosentrisme. Pengkritikan ini dilakukan dengan niat dan tujuan untuk meuniversalkan ilmu sosial. Untuk mewujudkannya diperlukan metateori. Metateori ini ialah studi teori refleksi yang merupakan kajian mengenai struktur dasar teori atau konteks sosial kemunculan teori, yang mencakup pengujian terhadap landasan logika dan metodologinya. Sebagai contoh teori Ibnu Kaldun mengenai pembentukan negara, terus-menerus didiskusikan metode, landasan dan konteks sosial kemunculannya. Dalam hal ini penulis menyarankan untuk memulai mengkaji ulang teori-teori oaring-orang non-Eurosentrisme. Pengkajian ini bukan sekedar deskriptif ataupun membandingkan, tetapi menghasilkan teori baru dengan menekankan pengambilan sumber dari sumber yang sampai sekarang dipinggirkan dan tak dipakai.
Pembelajaran timur selama ini berkencenderungan pada diskusi tentang karya Mark, Weber dan Durkheim. Untuk menciptakan diskursus alternatif, diperlukan beberapa perubahan dalam pembelajaran. Yakni perkenalan terhadap  teori non-Eurosentrisme. Tujuannya ialah agar mengetahui asal-usul peradaban modern yang multibudaya, kontribusi orang-orang muslim, India dan Cina, aspek-aspek dari semua peradaban, nilai-nilai dan masalah umum yang dihadapi semua umat manusia. Menetralkan Eurosentrisme dalam ilmu sosial membutuhkan keaktifan untuk memperkenalkan ide-ide non-Eurosentrisme. Penulis memberikan usulan untuk menyebarkan kesadaran kebutuhan diskursus alternatif dalam ilmu sosial, agar memunculkan perspektif yang universal dalam ilmu sosial dan tidak terdapat dikotomi non-Eurosentrisme. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar