Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

DEKOLONISASI METODOLOGI


Review Bab Buku
DEKOLONISASI METODOLOGI
Linda Tuhiwai Smith


Roger Kembuan 

Buku berjudul Dekolonisasi Metodologi yang ditulis oleh Linda Tuhiwai Smith seorang Professor bidang pendidikan and Direktur dari International Research Institute for Maori and Indigenous Education dari Universitas Auckland Selandia Baru diterbitkan dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh  INSISTPress tahun 2005 dengan jumlah halaman 347.
Secara umum ada beberapa hal yang penting dari buku ini. Dalam Bab pendahuluan smith menegaskan bahwa tujuan dari Buku ini merupakan cerita tandingan (counter-story) terhadap ide-ide Barat tentang cara pandang dan pengetahuan. Meneropong lewat mata bangsa jajahan, narasi penuh pesan kehati-hatian dituturkan dari perspektif pribumi, argumen yang ditujukan bukan saja untuk menyuarakan kaum yang terbungkam yang terhegemoni oleh dominasi barat.
Buku ini terutama unggul dalam menempatkan perkembangan praktek-praktek penelitian tandingan (counter-practices of research) baik dalam kritik-kritik Barat atas pengetahuan Barat maupun gerakan-gerakan pribumi global. Berbekal evaluasi kritis dan feminis terhadap positivisme, Tuhiwai Smith mendesak perlunya  penelitian ulang (perspektif baru) aturan main penelitian ke arah praktek-praktek yang bermartabat, etis, simpatik dan bermanfaat versus berbagai praktek dan sikap rasis, asumsi etnosentris dan penelitian eksploititatif yang dibuat oleh penulis barat.  Smith secara cerdas memanfaatkan sudut pandang dari Maori, sebuah pendekatan awal menuju protokol dan metodologi penelitian yang cocok secara kultural, tujuannya terutama dimaksudkan untuk mengembangkan bangsa pribumi sebagai peneliti terhadap sejarahnya sendiri.
Dalam buku tersebut bab yang akan saya review adalah bab ketiga yang berjudul Colonizing Knowledges (Penjajahan dalam Pengetahuan). Bab ini diawali dengan “SUPERIORITAS POSISIONAL”. Diartikan sebagai sebuah proses yang subyektif dari orang barat yang melalui hegemoni mereka dalam melihat dunia pribumi. Smith berpendapat bahwa dari sudut pandang yang terjajah, “penelitian” terkait erat dengan imperialisme dan kolonialisme Eropa. Dia menunjuk ke sistem dan kerangka kerja tentang bagaimana penelitian dilakukan oleh orang Eropa diklasifikasikan, dan disajikan kembali dari Barat, dan kemudian melalui sudut pandang Barat melihat kembali ke wilayah yang dijajah, sebuah proses yang disebut Edward Said telah "Orientalisme."
Inti dari Bab ini adalah bagaimana produksi pengetahuan barat adalah komoditas untuk dieksploitasi, sama seperti sumber daya alam lainnya. Ketika garis imajiner antara “timur” dan “barat” didemarkasi tahun 1493 oleh Papal Bull saat itulah pembedaan yang jelas tentang superioritas dunia barat terhadap timur mulai terjadi. Bangsa barat mulai mengadakan prjalan ke dunia timur dan menemukan banyak pengetahuan yang telah dimiliki oleh bangsa-bangsa yang ada di timur. Mereka terkesima  dengan bangsa-bangsa di timur yang telah mengembangkan pengetahuan lebih baik dari mereka. Banyak hal yang dilihat oleh orang barat di timur mengenai pengetahuan-pengetahun serta kearifan lokal dibawa ke barat dan menurut Smith di komodifikasi dan dikembangkan kemudian setelah itu diklaim merupakan milik barat tanpa melihat bahwa kontribusi pengetahuan pribumi awalnya adalah dasar pengembangan metode pengetahuan tersebut. contoh yang bisa diambil menurut saya adalah soal kain. Persoalan kain pada awalnya merupakan komoditas yang sudah ada di timur, seperti Cina dan India. kain pada awalnya diperoleh orang barat dari pedagang dari “silk road” kemudian menjadi komoditas penting di eropa. Ketika Inggris menguasai India, Inggris menguasai jalur produksi kain di dunia. Kemudian melalui pengembangannya sampai pada revolusi Industri, tekstil kemudian menjadi komoditas yang olehg Inggris merupakan dominasi mereka, tanpa melihat awalnya mereka hanya mendapati pengetahuan itu dari bangsa dari timur.
            Revolusi Industri dan pengetahuan pada abad ke XVIII  sangat berpengaruh pada superioritas barat dalam ilmu pengetahuan. Dimasa ini diadakan pengumpulan berbagai artefak, spesies flora dan fauna (oleh Smith disebut pencurian). Jika melihat berbagai koleksi buku dan laporan perjalanan ilmiah dari para ilmuan eropa pada abad 18 dan 19 selain mereka mencatat mengenai apa yang mereka lihat di dunia timur. Mereka juga mencatat berbagai hal, mulai dari pengetahuan local, berbagai spesies flora dan fauna sampai pada berbagai bahan komoditas yang hanya ada di suatu wilayah tertentu yang kemudian oleh peneliti tersebut diasumsikan bisa dijadikan sebuah komoditas untuk industri kedepannya. Implikasi dari hal ini dapat dilihat pada globalisasi pengetahuan dan budaya barat yang terus menerus meneguhkan pandangan bahwa dunia barat sebagai pusat ilmu pengetahuan. Semua pengetahuan yang universal berasal dari barat. Padahal dalam realitanya dalam banyak kasus, barat hanya mengembangkan pengatahuan yang telah pada awalnya di timur.
          Contoh berikutnya dari Smith adalah soal hegemoni dalam pendidikan. Pada masa Kolonial, pendidikan barat diterapkan dan dipakai sebagai mekanisme menciptakan elit pribumi baru. Selain itu budaya dan bahasa barat menjadi hal yang sangat menonjol. Penggunaan bahasa dan budaya barat dalam masyarakat pribumi pada abad ke 19 menjadi sangat dominan. Sekolah-sekolah yang dibangun pada masa ini menjadi agen terhadap modernisasi dan pembaratan terhadap dunia pribumi. Contoh kasus yang diambil Smith adalah pada suku bangsa Maori, namun menurut saya persoalan ini tidak hanya terjadi pada satu suku atau wilayah saja tapi disemua wilayah koloni hal ini menjadi sangat signifikan. Saya mengambil contoh kasus di Minahasa. Seperti diketahui, abad ke 19 merupakan periode di mana instaurasi kekuasaan colonial sangat berpengaruh di Minahasa. Sekolah dan lembaga pendidikan dibangun untuk memodernisasi masyarakat. Implikasinya sangat signifikan dalam masyarakat Minahasa, munculnya kaum terpelajar dari anak-anak pribumi yang dididik dengan pendidikan barat secara langsung merombak struktur dan tatanan budaya asli. Anak-anak yang dididik itu kemudian  kembali ke komunitasnya dengan paradigm yang baru dan menganggap budaya asli merupakan sesuatu yang asing dan ketinggalan jaman. Budaya yang dahulunya menjadi pedoman hidup komunitas, kemudian secara paksa mulai ditinggalkan. Yang akhirnya ketika masa selanjutnya menimbulkan krisis identitas yang sangat jelas.
            Selain berbagai pandangannya yang revolusioner dalam mendekonstruksi hegemoni barat dalam berbagai aspek terhadap timur. Hemat saya, dalam Buku oleh Smith ini ada hal juga yang menurut saya harus dipahami secara hati-hati dan menempatkannya dalam proporsi yang berimbang. Paradigma dari sudut pendang Indigenous sangat baik namun ketika aplikasinya dalam konteks historiografi pada dasarnya harus dipahami dengan baik agar tidak terjerumus ke dalam perspektif yang sangat etnosentris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar