Halaman

Kamis, 25 Oktober 2012

Historiographical Review “Asian Values” and Southeast Asian Histories, by T.N Harper dan On The Study of Southeast Asian History, by D.G.E. Hall


Nama                         : Septi Utami
No. Mahasiswa        : 12/339799/PSA/7354

Historiographical Review “Asian Values” and Southeast Asian  Histories, by T.N Harper dan On The Study of Southeast Asian History, by D.G.E. Hall

            Pada saat ini suatu pencapaian tentang makna ideologi tidak begitu sering menjadi topik permasalahan, namun budayalah menjadi bingkai suatu peradaban kini mulai dikemukakan. Barat yang melihat nilai-nilai pada Timur mulai mempelajari masalah ke Timuran, baik di bidang bahasa, etika, peradaban, maupun agama. Hal ini merupakan suatu pengertian orientalisme dalam terminologi. Para sejarawan kebudayaan mengemukakan bahwa walaupun orientalisme memiliki maksud tersendiri namun ini merupakan suatu pencarian kembali tentang keeksotikan akan sebuah nilai peradaban dan inspirasi. Akan tetapi, hal ini menjadi suatu gambaran buruk ketika Islam menyebutkan bahwa orientalisme suatu teror kebobrokannya nilai-nilai kebudayan dengan membiarkan Barat masuk dan merusak nilai-nilai budaya keTimuran. Dalam hal ini, nilai-nilai seperti apa yang menjadi persoalan dalam masalah orientalisme. Penekanan pada nilai sendiri dijelaskan oleh Dr. Mahathir sebagai tantangan dari neo-imperialisme di timur. Dia menekankan bahwa timur masih belum mampu melihat jati dirinya sebagai suatu bangsa, padahal nilai Asia merupakan hal yang selama ini ditolak oleh Timur. Timur sendiri masih terkukung oleh penafsiran dalam hal membangun sejarah bangsa mereka sendiri, karna itulah disini Mahathir mulau memberikan suatu adanya keinginan dari Barat yang mulai membuka budaya yang ada di Timur.
            Para pendahulu, seperti Clifford Geertz, James Siegel, Shelly Errington, dan Ben Anderson mulai melihat kenyataan bahwa pentingnya akan fakta dapat ditemukan di cerita-cerita daerah. Mereka banyak menekukan hal-hal yang berhubungan dengan etnografi, kondisi masyarakat, gambaran kekuasaan dan keadaan daerah melalui cerita-cerita tersebut, hal ini sangat penting untuk membangun nilai Asia tersebut. Adapun peneliti lainnya yang mulai membuka penelitiannya dengan sisa-sisa arsitektur dari bangunan ataupun prasasti-prasasti peninggalan kerajaan. Bernard Philippe Groslier meneliti Angkor dengan melihat peradaban Khmer Tua melewati sisa-sisa arsitektur, sedangkan JG de Casparis menggunakan prasasti dari Jawa abad ke-8 dan ke-9 dalam merevolusi pengetahuan tentang Sailendra dalam sejarah Indonesia. Adapun Paul Wheatley telah memeriksa tulisan-tulisan Cina, Yunani, Arab, Persia, dan India yang berkaitan dengan geografi sejarah awal Malaya dalam hal mempelajari Asia. Selanjutnya, C.C. Berg juga melakukan studi sejarah kuno dengan menganalisis serta mencari pemaknaan dalam Negarakertagama, Pararaton, dan Babad Tanah Jawi yang telah menggunakan versi Krom dari Hindu periode Jawa dalam penanggalannya.
            Sejarah nasional dibentuk oleh sejarah daerah, merupakan suatu ungkapan yang ingin dipecahkan oleh peneliti Barat tersebut agar dapat menemukan nilai dari Asia tersebut. Tradsi oral yang mencoba menggambarkan nilai yang terkandung di suatu teks-teks dapat bernilai tersendiri, karena kandungan akan nilai kebudayaan dapat ditemukan. Teks-teks yang telah disebutkan dapat memberikan suatu analisa penggambaran sejarah awal daerah yang terdapat poin-poin tertentu; yaitu penggunaan sumber-sumber Cina, yang banyak mengandung kronik-kronik adat yang terkandung dalam mitos-mitos daerah. Adapun penggunaan epigrafi yang masih harus dilakukan penelitian, dapat dimanfaatkan sebagai sumber untuk melihat kehidupan sosial dan ekonomi. Selanjutnya, adalah arkeologi dan sejarah adat serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan legenda, cerita rakyat, tradisi, dan sejarah informasi baik untuk digunakan.
            Beberapa poin diatas dapat memberikan suatu pandangan akan pentingnya pembangunan kembali sejarah dengan melihat aspek kebudayan masyarakat sendiri, sehingga disini kita mencoba menghilangkan suatu tradisi dimana ada istilah masa kolonial atau jaman Belanda. Hal ini telah membawa van Leur untuk mengingatkan pada sejarawan untuk skeptis dalam melihat sumber-sumber dan karya-karya sekunder. Hal ini berkaitan dengan suatu pencapaian dalam mendapatkan suatu informasi yang benar dan mulai mencari segala sesuatunya dari sisi yang berbeda, dalam hal ini bukanlah sisi pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada penggunaan cerita-cerita melayu dalam membangun sejarah Malaysia, dengan mencari masa-masa islam klasik dahulu.Adapun nilai Asia pada historiografi di Indonesia saat masa pergerakan banyak di warnai dengan masalah pada politik atau kaum elite tertentu, namun ada beberapa yang melihat tentang masyarakatnya, keadaanya dan menuliskan tulisannya dengan suatu puisi-puisi yang dalam bentuk hujatan maupun dukungan. Hal ini merupakan suatu profil dari Pramoeddya Ananta Toer dalam melihat sejarah dengan menulisnya sebagai sastra. Bukan berarti pusisi-puisi ini tidak dapat dijadikan sumber bagi sejarawan, namun ini penting karena penggambaran akan suatu kepemerintahan dapat terminimalisirkan.
Hal-hal yang telah disebutkan memberikan suatu warna baru tentang kesimpulan bahwa ini merupakan suatu perubahan sosial. Pemaknaan nilai Asia dapat bernilai ketika mereka berada di bawah suatu ancaman, dan bukan berarti ini suatu perlawanan dari Barat namun suatu respon untuk membangkitkan kehidupan masyarakat di Asia. Komunitas baru muncul disekitar pola yang baru akan sebuah pekerjaan dan penyelesaian. Berhadapan dengan perubahan besar, nilai Asia membagi masyarakat sebagai unit dari perlawanan terhadap Barat. Perjuangan besar bukan datang mengenai kebudayaan, tetapi mereka. Oleh karenanya berikan suatu bentuk identitas yang kuat dapat menopang masuknya budaya yang dapat merubah nilai dari Asia.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar