Nama:
Adif Fahrizal
NIM
: 12/339539/PSA/7316
Artikel karya Anthony H. Johns
yang dimuat dalam The Journal of Asian Studies edisi November 1964
ini mengulas peranan mitos dalam historiografi tradisional Jawa.
Menurut Johns, meskipun sarat dengan kisah-kisah ajaib yang tidak
masuk akal bukan berarti historiografi tradisional itu tidak berguna
sama sekali untuk memahami sejarah Jawa. Mitos yang terdapat dalam
historiografi tradisional Jawa setidaknya dapat memberi kita gambaran
bagaimana alam pikiran masyarakat Jawa pada waktu karya itu disusun.
Dalam historiografi tradisional di Nusantara –baik dalam alam
kebudayaan Jawa maupun Melayu- unsur mitos paling banyak terdapat di
bagian pendahuluan historiografi itu. Bagian pendahuluan
historiografi tradisional umumnya berisi kisah awal perjalanan sebuah
kerajaan, pendiri dinasti, ataupun asal-usul garis keturunan seorang
penguasa. Dalam historiografi tradisional Jawa di bagian ini selalu
dikisahkan bahwa nenek moyang pendiri dinasti, pendiri kerajaan, atau
penguasa yang untuknya karya tersebut didedikasikan bukanlah orang
biasa melainkan mempunyai hubungan dengan atau garis keturunan dari
alam adi-kodrati. Selain itu, raja atau penguasa selalu dihubungkan
dengan kerajaan sebelumnya baik lewat garis keturunan ataupun
hubungan perkawinan. Hal-hal tersebut menunjukkan 2 aspek utama dalam
legitimasi bagi seorang penguasa menurut alam pikiran masyarakat Jawa
di masa lalu yaitu hubungan dengan alam adi-kodrati –para dewa,
penguasa dunia gaib, dan sebagainya- dan hubungan dengan dinasti
penguasa terdahulu. Dengan kata lain, bagi masyarakat Jawa pada zaman
historiografi tradisional itu disusun seorang raja harus menunjukkan
bahwa dirinya mendapat restu dari kekuatan-kekuatan gaib di luar
dunia manusia serta memiliki garis keturunan dari para penguasa
terdahulu yang jika dirunut silsilahnya akan sampai pada kesimpulan
bahwa para penguasa itu adalah titisan dewa.
Dalam artikel ini Johns
mengupas 2 karya historiografi yang bisa mewakili historiografi
tradisional Jawa secara umum yaitu Serat Pararaton dan Babad Tanah
Jawi. Meskipun berasal dari 2 periode yang berbeda akan tetapi
keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama berpegang pada mitos
dewa-raja dan menekankan pentingnya peran raja sebagai penjaga
keseimbangan kosmos. Ini sekaligus menegaskan adanya kesinambungan
dalam sejarah kebudayaan Jawa. Dalam Serat Pararaton (SP) Ken Arok
sebagai pendiri Dinasti Rajasa –dinasti yang menurunkan raja-raja
Singosari dan Majapahit- digambarkan sebagai putra dari Dewa Brahma
yang menghamili seorang wanita desa. Sementara itu dalam Babad Tanah
Jawi (BTJ) diceritakan silsilah raja-raja Mataram yang bersambung
hingga ke Nabi Adam yang lalu menurunkan para nabi dan juga dewa-dewa
Hindu. Walau demikian, Johns mengemukakan adanya perbedaan yang cukup
menarik antara keduanya. Meskipun berasal dari zaman yang lebih muda,
dalam BTJ ternyata unsur mitos memainkan peranan yang lebih dominan
dibanidngkan dalam SP. Fakta ini membawa Johns pada suatu pertanyaan
hipotesis, apakah mungkin jika sampai dengan zaman Majapahit di Jawa
pernah ada sebuah otoritas sekuler (baca: otoritas yang tidak
menggantungkan legitimasinya pada dunia gaib) dan baru pada zaman
Mataram –yang terisolir di pedalaman dan tidak memiliki kekuatan
riil- dunia gaib mendapat peran yang lebih menonjol sebagai sumber
kekuasaan?
Kelebihan dari artikel ini
adalah ketajaman analisis Johns yang membuatnya mampu menguraikan
unsur-unsur pengaruh dari mana saja yang mewarnai SP dan BTJ. Dalam
analisisnya tentang SP Johns menunjukkan adanya pengaruh Hindu (Ken
Arok disebut sebagai putra Brahma, Batara Guru (Siwa) menyatakan Ken
Arok adalah anaknya) dan Buddha (kisah kesediaan Ken Arok
mengorbankan dirinya sendiri demi kebahagiaan makhluk lain –tema
yang banyak diangkat dalam kisah-kisah Jataka milik kaum Buddhis).
Adapun BTJ mengandung unsur-unsur asli Jawa, Hindu, Buddha, dan
Islam. Lewat analisisnya Johns mengungkapkan banyaknya unsur asli
Jawa dalam BTJ dan secara jeli ia mengaitkan hal ini dengan
kebangkitan kembali elemen-elemen pra-Hindu yang sudah tampak sejak
era Majapahit lalu secara paradoks bertemu dengan unsur pengaruh luar
yang datang kemudian: Islam.
Bila ada kekurangan dalam
ulasan Johns ini maka itu adalah pandangannya yang menganggap mitos
dalam historiografi tradisional Jawa sebagai sekadar alat legitimasi
bagi penguasa seraya mengabaikan kemungkinan adanya kebenaran faktual
dalam mitos tersebut. Perlu kita ingat, dalam masyarakat tradisional
fakta dan mitos tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mitos membentuk
fakta sebagaimana fakta dijadikan sebagai mitos. Dalam konteks ini
bukan tidak mungkin misalnya jika para raja Mataram adalah keturunan
Majapahit karena paham kekuasaan Jawa zaman itu mensyaratkan seorang
penguasa harus memiliki garis keturunan dari penguasa terdahulu.
Begitu pula dengan kasus kisah Ken Arok, bisa jadi perjalanan Ken
Arok hingga akhirnya menjadi raja bukan sekadar cerita dongeng yang
dibuat-buat melainkan memang itulah jalan yang harus ditempuh
seseorang pada zaman itu untuk menjadi raja. Memang, menurut kacamata
Barat yang rasionalistis mitos dianggap sebagai alat legitimasi bagi
pihak yang berkuasa semata. Dengan kata lain, mitos hanyalah alat
yang digunakan penguasa untuk menipu rakyatnya agar mengakui
keabsahan kekuasaannya. Pandangan ini sesungguhnya mengabaikan fakta
bahwa dalam masyarakat tradisional mitos dianggap sebagai suatu
kebenaran, bukan hanya oleh rakyat jelata tetapi juga penguasa dan
kaum terpelajar. Dengan demikian maka dalam hal ini mitoslah yang
membentuk fakta. Persepsi yang memandang mitos sebelah mata
seringkali menyulitkan penulisan sejarah Jawa manakala tidak ada
sumber di luar sumber-sumber Jawa –semisal sumber Cina atau Barat-
yang menyebutkan satu peristiwa atau mengisahkan sebuah peristiwa
secara kronologis. Historiografi tradisional Jawa seringkali dianggap
lebih rendah nilainya dibandingkan sumber-sumber lain yang dipandang
lebih ‘rasional’. Padahal tidak mustahil di dalam historiografi
tradisional Jawa pun terdapat fakta-fakta sejarah yang penting
diungkap untuk memahami sejarah Jawa. Tidak ada salahnya menjadikan
babad atau serat sebagai sumber sejarah selama kisah-kisah tak masuk
akal di dalamnya dikesampingkan terlebih dahulu dan tidak ada sumber
lain yang lebih kuat yang membantah informasi yang terkandung dalam
babad atau serat itu. Historiografi tradisional tidak bisa
dikesampingkan begitu saja semata karena ‘irasionalitas’nya yang
pada akhirnya hanya akan memiskinkan khazanah sumber sejarah
Nusantara dan mengasingkan kita dari kekayaan warisan budaya kita
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar