Halaman

Senin, 07 Januari 2013

Dekolonialisasi dan Penghadiran ”Sang Liyan”


Dekolonialisasi dan Penghadiran ”Sang Liyan”[1]


Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 6)

“Penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi.” Agaknya kalimat klise itulah yang banyak berlaku di negara-negara eks-kolonial dengan geliat politik dekolonialisasinya sebagai wujud dari ekspresi dalam alam kemerdekaan.
Bagi Linda Tuhiwai Smith, ada hal yang lebih mendasar dan penting untuk dilakukan oleh dunia ilmu pengetahuan pada masa poskolonial. Hal itu adalah kemestian melakukan dekolonialisasi terhadap ilmu pengetahuan. Sebagai seorang ahli sejarah dan kebudayaan Maori (Selandia Baru) Smith memandang bahwa yang tidak serta-merta pergi dari dekolonialisasi politik adalah konstruksi ilmu pengetahuan yang tidak disadari masih memberi peluang menempatkan pribumi sebagai obyek dari imperialisme dan kolonialisme.
Smith coba menyadarkan bahwa persoalan rasisme, inferioritas pribumi, dan superioritas kulit putih sebagian banyaknya adalah hasil-hasil bangunan dari pengetahuan kolonial. Bangunan itu mengendap dalam berbagai sumber arsip, etnografi, reportase, hingga media visual yang diproduksi pada masa kolonial. Sumber-sumber itu kini dipakai dalam berbagai rekonstruksi sejarah. Masalah dasarnya terletak pada wacana metodologi serta pembacaan dan cara pandang terhadap teks.  
Alih-alih ingin melakukan dekolonialisasi sejarah secara politik, yang terjadi justru ketidak-sadaran telah terjebak ke dalam reproduksi hegemoni kolonial. Itulah mengapa di awal introduksi bukunya Decolonializing Methodologies: Research and Indigeneous Peoples (1999), Smith menegaskan bahwa terma “research” tak mungkin lepas dari hubungan dengan imperialisme dan kolonialisme Eropa. Karena dua isme itulah sejarah dan kebudayaan dari banyak negara-bangsa eks-jajahan dibentuk melalui para sarjana masa lalu yang sebagian besar punya motif dan muatan kepentingan politik kolonial. Maka itu Smith mengatakan bahwa penelitian dalam konteks tata bahasa bangsa yang terjajah ternyata dirasa sebagai hal yang kotor (hal. 1).
Dapat dimengerti mengapa Smith memungkinkannya sebagai kata yang ‘kotor’. Pasalnya, dalam riset sejarah (dan lebih-lebih antropologi), besar sekali kemungkinan dalam sumber-sumber primer dan sekunder didapati adanya teks-teks semisal ‘primitif’ dan ‘terbelakang.’ Secara logika bahasa, diksi macam itu menunjuk pada pengutuban sifat dan keadaan manusia yang berada di luar subyek berkutub maju dan beradab. Di sini, rekonstruksi masa lalu malah mungkin sekali kian menyudutkan dan meminderkan pihak-pihak yang ditelitinya. Konteks pihak-pihak ini bisa dalam ranah etnis, tapi lebih luas juga bisa menyentuh ranah bangsa. Dengan kata lain, wacana poskolonial kadang malah menjadi perangkap yang menyelubungkan kolonialisme dalam sifat barunya yang halus dan tak kasat mata.     
Smith cukup beralasan terlebih bila melihat masalah di kawasan Pasifik. Jika Smith lebih banyak fokus pada studi kasus di Maori, ini bisa dibandingkan dengan karya Sally Morgan dalam My Place dan Thomas Keneally dalam The Chant of Jimmie Blacksmith[2] yang mengungkap betapa inferiornya orang-orang Aborigin di tengah kehidupan orang-orang kulit putih di Australia. Dalam narasi-narasi mereka jelas ingin disampaikan, bahwa sejak James Cook mengkoloni benua Australia, mereka tergusur dan menjadi liyan (the other) di tanah airnya sendiri. Sejarah tanah airnya sendiri dibuat oleh orang-orang kulit putih. Dan di sekolah-sekolah, mereka menjadi para pembacanya. Segala sifat, ciri, dan identitas orang-orang Aborigin dinarasikan dalam sejarah buatan orang-orang kulit putih. Dalam kasus di Maori, Smith mengutip kata-kata sarkastis dari sastrawan Maori, Merata Mita: ”we have  a history of people putting Maori under a microscope in the same way a scientist looks at an insect. The ones doing the looking are giving themselves the power to define.” (hal. 58).
Maka, gagasan positional superiority dari Edward Said, dikatakan Smith amat berguna untuk dapat mengkonseptualisasikan jalan-jalan pengetahuan dan budaya yang dalam konteks imperialisme sebagian besar dijadikan sebagai bahan mentah kekuasaan bahkan kekuatan militer untuk menaklukan tanah koloninya (hal. 58). Dari gagasan Said  bisa ditangkap arahnya bagaimana pengetahuan ditemukan, disadap, dicocokan, dan didistribusikan. Semua ini di/ter-rancang dalam proses yang terorganisir dan sistematik. Lalu hasil dari itu semua, bagaimana akhirnya pikiran dikolonisasi. Gagasan Said bagi Smith memang berfaidah untuk mengurai wacana dekolonialisasi dan menggiring pada bagaimana ”mengkoloni pengetahuan” (colonizing knowledges) dengan jalan-jalan baru.
Teks secara tekstual memang bisa abadi sifatnya ketika tertera di kertas-kertas yang menguning. Tapi, teks secara kontekstual, memiliki sifat yang tidak abadi. Sifatnya sangat lentur. Selentur bagaimana para pembuat teks memilih diksi untuk menandai apa yang diamatinya, maka selentur itu pula para pembaca teks untuk mendekonstruksi teks. Teks didekonstruksi dengan tujuan untuk menangkap wacana di balik teks yang telah dibuat pada masa silam. Maka jelas, yang dihakimi Smith bukanlah sumber-sumber tekstual yang tentu hanya bisa membisu dalam gulir zaman, hingga tiba saat ada yang menyuarakannya. Tapi, para penyuara tekslah yang bertanggung-jawab mendedahkan makna-makna di balik teks yang dikajinya.
Maka itu ”permainan diskursus” –sebagaimana dimaksudkan Jean-François Lyotard– menjadi hadir dalam wacana-wacana Smith. Bagi pribumi di Asia, Amerika, Pasifik, dan Afrika, banyak yang tidak disadari bahwa bentuk-bentuk pengetahuan, sistem klasifikasi, teknologi, dan kode-kode kehidupan sosial yang direkam rinci sejak abad 17 telah mengkoloni mental dan pikiran mereka. Dalam konteks pengetahuan Barat, ini disebut sebagai ”new discoveries” yang dikomodifikasi sebagai arsip kultural dan tubuh dari pengetahuan Barat (hal. 61). Sangat menarik dua variabel yang dihadirkan Smith, bahwa ”mengkoloni disiplin pengetahuan” (colonizing the discipline) di tanah jajahan adalah modal bagaimana kolonialisme tumbuh mekar pada masa abad 19. Ini sejalan iring juga dengan proyek ”mendisiplinkan yang dikoloni” (disciplining the colonized) yang diterapkan pada elit-elit intelektual pribumi agar mindset mereka sejalan dengan proyek pengetahuan kolonial (hal. 65 – 69).
Terang, wacana-wacana Smith kena benar jika difokuskan ke dalam konteks dekolonialisasi (ilmu pengetahuan) di Indonesia yang juga dikitari penuh sumber-sumber pengetahuan kolonial. Ini semua soal epistemologi dan metodologi bagaimana menghadirkan pribumi bukan lagi sebagai liyan, tapi sebagai subyek yang bersuara, bukan hanya disuarakan dan dibuatkan suaranya secara semena-mena.              
    


[1] Pembacaan atas Linda Tuhiwai Smith. 1999. Decolonializing Methodologies: Research and Indigeneous Peoples. London: Zed Books, chapter. 3.
[2] Masing-masing telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Yang Tergusur (Sally Morgan) dan Nyanyian Seorang Aborigin (Thomas Keneally)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar