Nama :
Siti Nur Hadisah B Hari/tgl : Kamis, 18 Okt 2012
No. Mhs :
12/340216/PSA/7401 Dosen Pengampu : Dr. Sri Margana
Mata Kuliah :
Historiografi
A.
Historisme dan Historiografi di Indonesia
Karl Mannheim
berpendapat bahwa historisme merupakan motif dominan intelektual Barat kontemporer. Historisme menggantikan doktrin lama, karena relatif dan status mutlak
dipertanyakan untuk gaya baru filsafat sosial yang telah menekankan kebetulan dan perubahan. Sejarah ditulis sebelum
generasi bersejarah-filosofis, bukan historiografi yang membawa kita historisme, tetapi proses
sejarah berubah ke historisme. Visi historis-filosofis memberikan rujukan utama
untuk filsafat Barat. Kemudian penyair Meksiko,
Octavio Paz, juga berpendapat bahwa historisme
(sikap sejarah) merupakan fungsi dari cara tertentu mengetahui dunia.
Ketika ia menganjurkan mengkritik terhadap
tulisan-tulisan Claude Levi
Strauss,
bahwa citra dari dunia orang-orang
merupakan konsekuensi dari sejarahnya. John RW Smail memaparkan
bahwa krisis dalam historiografi, khususnya studi Asia
Tenggara modern, dimungkinkan suatu Sejarah
Otonomi Asia Tenggara modern. Pada akhir dominasi kolonial,
Smail menyarankan istilah historiografi sejarah Asia
Tenggara merujuk pada sejarah negeri
umum daerah. Sehingga hubungan kolonial hanya bagian dari
satu bahkan lebih besar, tema pertemuan Barat dan Timur, penyebaran budaya
Barat ke setiap bagian dari dunia ke dalam peradaban dunia tunggal.
Revolusi 1945
merupakan klimak dari suatu proses yang menemukan awal dalam kelahiran
gerakan nasional. Soedjatmoko mengakui bahwa sebuah kesadaran historis Indonesia
yang sedang dihasilkan dan tidak bisa
hanya disamakan dengan Barat. Periodisasi sejarah
Indonesia harus berakar dalam pengembangan otonom sejarah itu sendiri.
Kesadaran sejarah dipandang sebagai bagian fundamental dari Indonesia (Identity)
dalam dunia modern.
Soedjatmoko memaparkan bahwa hampir tidak
mungkin studi modern sejarah Indonesia tidak merasakan
dampak dari sikap sejarah budaya tradisional Indonesia.
Pengaruh ini dapat dilihat pada
kecenderungan mitologi. Konsep historis
Barat diperkenalkan ke dalam kerangka intelektual Indonesia dapat ditemukan
dalam analisis linguistik dari bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
baru-baru ini mengembangkan perangkat sintaksis untuk mengekspresikan konsep
historis Barat, yang menunjukkan bahwa itu hanya pada abad ke-16 bahwa Melayu yang digunakan di kepulauan Indonesia
mengembangkan konjungsi untuk temporal yaitu
bahwa hubungan waktu datang mereka
harus dilihat sebagai kausal.
Setidaknya,
Abdullah merekonstruksi sebagai subyek yang semakin dilihat sebagai agen
tindakan sendiri. Hilgers-Hesse telah meneliti perkembangan lebih lanjut dari
inovasi sintaksis antara sastrawan Indonesia menulis setelah tahun 1920-an.
Hilgers-Hesse menunjuk ke sebuah bagian
dari Mochtar Lubis untuk menggambarkan berbagai pengembangan kapasitas bahasa
untuk mengekspresikan basis temporal motivasi manusia sejak abad keenam belas.
Perdebatan sejarah
Indonesia yang telah berlangsung sejak akhir rezim kolonial Belanda pada tahun
1942 tidak dapat kategoris dibedakan dari perkembangan akun sejarawan Belanda
dari Hindia Belanda. Dua dekade terakhir pemerintahan Belanda telah menjadi
masa rekonstruksi pemikiran seperti antara sejarawan Belanda tentang tempat di
mana sejarah mereka Hindia Belanda yang ditulis. Dalam arti luas, telah terjadi
pergeseran dari melihat Nusantara sebagai tambahan tapi daya metro-politan
(sudut pandang Europocentric atau Neerlandocentric) untuk pengakuan tenta-tive
otonomi sejarah Indonesia.
Pergeseran dari
pandangan Eropa-sentris nusantara untuk
Indonesia-sentris setelah peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Sartono menunjukkan istilah
"nasionalisme Indonesia" menandai perkembangan politik. Salah satu
kontribusi paling awal ke historiografi Indonesia berasal dari Pane Sanusi.
Komitmen Pane terhadap warisan misticist Timur dan penolakannya terhadap etika
individualis Barat. Pane mampu mengakomodasi kecenderungan monistiknya
intelektual rezim Jepang dan selama periode perang. Pandangan
seseorang tentang sejarah dan penggunaan sejarah tidak dapat dipisahkan dari nilai
dari pandangan keseluruhan hidup seseorang seperti sejarah sebagai bbsolute
seseorang dapat hanya memeriksa sumber sejarah dan berspekulasi tentang
hubungan mereka. Pane percaya setiap zaman harus dinilai pada kemampuannya sendiri, bukan dalam
hubungan dengan periode sebelumnya.
Definisi
historiografi Indonesia seminar sejarah, diselenggarakan
oleh Sultan Yogyakarta di UGM pada tahun 1958, yang diarahkan ke enam bidang yang menjadi perhatian menuju historiografi Indonesia, antara lain, konsep filosofis sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia,
persyaratan untuk menulis buku teks dalam bahasa Indonesia, pengajaran sejarah
di sekolah-sekolah, pelatihan sejarawan, pelestarian dan penggunaan bahan
sejarah. Tetapi
pada saat yang sama telah ada
penyelidikan sering menjadi implikasi dari periodisasi dan pengertian tentang
subjektivitas dan objektivitas dalam sejarah tertulis.
Namun, perlu disadari bahwa sejarah bersifat subjektif karena sifat-sifat pribadi seseorang,
pengalamannja, pergaulan dan tempatnya. Semua itu mempunyai pengaruh
terhadap tulisan maupun ceriteranya.
B.
On the Study of Southeast Asian History
Studi tentang sejarah Asia Tenggara
terdapat kesenjangan yang
belum terjembatani dan kekurangan lainnya dalam pengetahuan
terlalu besar dan para pekerja di
bidang sejarah sendiri terlalu sedikit. Penemuan yang luar biasa dari kedua
fakta dan interpretasi yang telah dibuat, terutama oleh sarjana Perancis dan
Belanda masing-masing di daratan dan pulau Asia Tenggara, terutama untuk periode
Eropa, sangat besar. Sarjana Asia serta
Barat membuat kontribusi yang mengesankan, tetapi pekerjaan masih dalam tahap
pelopornya. Ia berusaha menemukan dan pengumpulan
bukti, penelitian dasar menjadi sumber yang sebelumnya belum diselidiki atau
tidak dieksplorasi, ini adalah hal penting yang dihadapi saat ini.
Pekerjaan yang
sangat penting semacam ini sedang dilakukan saat ini. Hanya beberapa contoh, ada studi terbaru Bernard Philippe
Groslier tentang Angkor, dimana ia dimasukkan dalam
eksposisi bahan dasar pertama dari peradaban
Khmer kuno, sisa-sisa keindahan arsitektur yang masih tak tertandingi. Ada dua studi dari
prasasti abad ke-18 dan abad ke-19 dari Jawa (Prasasti Indonesia)
yang telah merevolusi pengetahuan
tentang masa Sailendra. Paul Wheatley memeriksa
tulisan-tulisan Cina, Yunani, Arab, Persia dan India yang berkaitan dengan sejarah geografi awal Malaya, Karya besarnya tentang sejarah Burma sampai dengan akhir
abad ke-13, belum pernah dipublikasikan.
Selanjutnya, penelitian
Profesor CC Berg sastra Jawa Kuno, terutama pertanyaan ke dalam historisitas
kompilasi terkenal seperti Nagarakertagama dan Babad Tanah Jawi.
Contoh-contoh ini
semua berhubungan dengan sejarah awal daerah, merekamengilustrasikan sejumlah poin penting tentang studi nya:
(1) Pentingnya sumber-sumber Cina dibandingkan dengan yang
lain, seperti sumber India, kronik adat mengandung
mitos; (2) epigrafi masih
menawarkan lapangan kaya untuk peneliti;
(3) Arkeologi, ia memiliki konsentrasi
dengan luar biasa, bukan pada apa
yang di bawah permukaan atau tidak bisa dilihat; (4) Sejarah adat dan
tulisan-tulisan lainnya merupakan reservoir besar legenda, cerita rakyat, tradisi dan sejarah informasi
yang baik. Hanya beberapa yang telah digunakan oleh para sejarawan. Hal ini
juga dapat dikatakan sebagai langkah untuk melestarikan sumber tersebut, karena
memang banyak telah melalui mischances seperti sejarah, misalnya,
penghancuran Ayuthaya, ibukota lama Siam, oleh Bur-mese pada tahun 1767.
Studi perbandingan
materi adalah tugas yang jauh lebih besar. Bagi
penulis, masalah yang
terlibat dalam menggunakan perbandingan materi sebagai sumber-material sejarah dapat dipelajari dalam
banyak artikel Profesor CC.Berg pada subjek
dalam jurnal dari karya utamanya, De Evolutie der lavaunse
Geschiedschrijving dan Herkomst, Vorm en functie der Middeljavaanse
Rijksdelingstheorie (Amsterdam, 1953). Kemudian juga studi comparative
akan melibatkan literatur dalam bahasa Burma, Mon, Tai, Khmer, Vietnam, Melayu,
Jawa, Sunda, Bugis dan Bali, begitu serius kendala bahasa yang sangat jelas mempengaruhi tulisannya.
C.
Komparasi Historisme and Historiografi di Indonesia & On the Study of
Southeast Asian History.
Dalam dua artikel diatas sama-sama
mengenai tentang penulisan sejarah yang memperlihatkan suatu gambaran tentang
penulisan sejarah itu sendiri, dimana
dalam penulisan tersebut memaparkan bahwa bahasa dalam penulisan sejarah
merupakan hal yang sangat penting (esensial) dalam menginterpretasikan suatu
sumber sejarah. Selain itu, sikap sejarah dalam penulisan di Asia Tenggara,
khususnya di Indonesia lebih pada membalikkan pandangan dari Eropa sentris
menjadi Indonesia sentris, sehingga dalam perkembangannya terdapat beberapa
kendala dalam penulisan sebuah historiografi Indonesia itu sendiri.
Selain itu, penulisan sejarah tidak
boleh mengesampingkan sumber-sumber yang berasal dari sejarah daerah agar
memperoleh suatu gambaran yang lengkap dalam melihat sejarah negara itu
sendiri. Dengan demikian, baik sikap sejarah dan historiografi Indonesia dalam
studi sejarah asia Tenggara juga dapat dikatakan menjadi lebih terlihat
perananya dalam peradaban ketika terjadi suatu perubahan dalam historiografi
itu sendiri dengan tidak memberatkan sebelah atau mencakup seluruh sumber yang
ada, kemudian menginterpretasikannya menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga
memperoleh hasil historiografi yang utuh pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar